Artikel Islam

Kesungguhan Hati Dalam BerIslam

Jumat, 20 Maret 2009

Andai Mereka Kenal Muhammad SAW......?

Andai Mereka Kenal Muhammad ?


DI SUDUT PASAR MADINAH, ada seorang pengemis buta Yahudi. Setiap hari pengemis itu selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “ Wahai tuan/nyonya jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila. Dia itu Pembohong. Dia itu tukang sihir. Dia itu pemecah belah keluarga. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.” Sambil menengadahkan tangan, pengemis itu selalu meneriakkan kata-kata kasar setiap hari.

Namun, setiap pagi hampir selalu ada seorang pria yang datang padanya dengan membawakan makan. Tanpa berucap sepatah kata pun, pria misterius itu kerap menyuapkan makanan yang dibawa sembari mengelus rambutnya. Suatu ketika,pria yang biasanya datang memberinya makanan yang tak lagi singgah. Pengemis buta gundah, ia makin hari dirundung rindu dan bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi dengan pria yang kerap mencurahkan perhatian padanya.

Hingga suatu pagi ada seorang pria datang memberikan makanan padanya. Namun ketika pria itu mulai menyuapi, si pengemis buta Yahudi marah sambil menghardik,” Siapa kamu ? Engkau bukan orang yang biasa menyuapiku makanan untukku.” “ Aku adalah orang yang biasa ,” jawab pria itu.

“Tidak mungkin. Engkau pembohong. Orang yang biasa menghampiriku selalu membelai lembut rambutku sebelum menyuapiku. Kemudian menghaluskan makanannya sehingga tidak sulit mulut ini mengunyah. Dia menyuapiku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.” Jawab sang pengemis.

Mendengar jawaban itu, pria tadi terhenyak. Mendadak hatinya luruh tidak dapat menahan air matanya. Ia tersedu sambil berkata kepada pengemis buta Yahudi itu,” Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberi makanan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad. Muhammad kekasih Allah.”

Bak disiram petir, telinga tertampar, batin pengemis itu tercabik kelu. Pengemis buta Yahudi terperangah sesal. Tubuhnya bergetar. Air matanya tumpah, nadanya sesak terisak. Dengan terbata-bata ia berucap ,” Benarkah orang yang sering mendatangiku itu Muhammad?, Orang yang setiap hari aku fitnah?, Orang yang setiap hari aku caci?, dan orang yang setiap hari aku hina?” Tanya pengemis lunglai. “ Anda benar”, jawab Abu Bakar terus terisak. Kerinduan Abu Bakar pada Muhammad pun membuncah hebat. Sang menantu telah menggurat kenangan yang tak lekang di ingatan.

Sang pengemis buta Yahudi segera memegang tangan Abu Bakar.” Wahai Abu Bakar, tuntun aku masuk Islam. Aku ingin bertemu dengan Muhammad. Tuntun aku wahai sahabat Muhammad.” Dan sejak saat itu pengemis buta itu memeluk islam.

Kini pengemis Yahudi menanggalkan pesan kepada kita. Setidaknya ada dua golongan yang tidak membenci nabi kita Muhammad saw. Pertama, orang sombong. Mereka mengerti bahwa ajaran yang dibawa Muhammad saw benar. Namun mereka khawatir bila mengikuti jejak Muhammad kedudukan dan setatus sosialnya akan terancam. Yang termasuk golongan ini adalah Abu Jahal. Walu tidak mengikuti ajaran Muhammad, ia secara sembunyi kerap mendengarkan setiap Nabi ketika membacakan Al Qur’an.

Kedua, orang yang belum tahu kemuliaan Muhammad saw. Pengemis buta Yahudi,orang yang merendahkan, melecehkan dan juga para pelaku keji yang menyebarkan kartun Muhammad saw termasuk dalam kelompok ini.

Mak jadilah seperti Abu Bakar. Dia penegak kebenaran. Dia penentang kebatilan. Dia pun memerangi orang yang tidak membayar zakat. Sebagai sahabat dan mertua, Abu Bakar tahu persis kemuliaan Muhammad saw, Abu Bakar kerap meneteskan air mata bila teringat Muhammad, Abu Bakar pun selalu rindu bertemu sang Nabi.

Ya Nabi….aku rindu berjumpa denganmu……aku rindu kepribadianku melekat dalam diriku……akupun ingin tak ada lagi orang yang menghinamu. Aku rindu kepadamu ya Rosulullah.

[+/-] Selengkapnya...

Tips Mengatasi Kesedihan Hati

Jangan Bersedih, Inilah Kiat-kiat untuk Hidup Bahagia

1. Sadarilah bahwa jika Anda tidak hidup hanya dalam batasan hari ini saja, maka akan terpecahlah pikiran Anda, akan kacau semua urusan, dan akan semakin menggunung kesedihan dan kegundahan diri Anda. Inilah makna sabda Rasulullah :” Jika pagi tiba, janganlah menunggu sore, dan jika sore tiba, janganlah menunggu hingga waktu pagi.”

2. Lupakan masa lalu dan semua yang pernah terjadi, karena perhatian yang tepaku pada yang telah lewat dan selesai merupakan kebodohan dan kegilaan.

3. Jangan menyibukan diri dengan masa depan, sebab ia masih berada di alam gaib. Jangan pikirkan hingga ia datang dengan sendirinya.

4. Jangan mudah terguncang dengan kritikan. Jadilah orang yang teguh pendirian, dan sadarilah bahwa kritikan itu akan mengangkat harga diri Anda sendiri dengan kritikan tersebut.

5. Beriman kepada Allah, dan beramal salih adalah kehidupan yang baik dan bahagia.

6. Barangsiapa menginginkan ketenangan, keteduhan, dan kesenangan, maka dia harus berdzikir kepada Allah.

7. Hamba harus menyadari bahwa segala sesuatu berdasarkan ketentuan qadha’ dan qadar.

8. Jangan menunggu terimakasih dari orang lain.

9. Persiapkan diri Anda untuk menerima kemungkinan terburuk.

10. Kemungkinan yang terjadi itu ada baiknya untuk diri Anda.

11. Semua qadha’ bagi seorang muslim baik adanya.

12. Berpikirlah tentang nikmat, lalu bersyukurlah.

13. Anda dengan semua yang ada pada diri Anda sudah lebih banyak daripada yang dimiliki orang lain.

14. Yakinlah, dari waktu ke waktu selalu saja ada jalan keluar.

15. Yakinlah, dengan musibah hati akan tergerak untuk berdoa.

16. Musibah itu akan menajamkan nurani dan menguatkan hati.

17. Sesungguhnya setelah kesulitan itu akan ada kemudahan.

18. Jangan pernah hancur karena perkara-perkara sepele.

19. Sesungguhnya Rabb itu Maha Luas ampunan-Nya.

20. Jangan marah, jangan marah , jangan marah !

21. Kehidupan ini tak lebih sekedar roti, air dan bayangan. Maka, tak usahlah bersedih jika semua itu ada.

22. {Dan, di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu}
(QS.Adz-Dzariyat:22)

23. Kebanyakan dari apa yang Anda takutkan tidak pernah terjadi.

24. Pada orang-orang yang tertimpa musibah itu ada suri tauladan.

25. Sesungguhnya, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan memberikan cobaan atas mereka.

26. Ulangilah doa-doa untuk menghapuskan bencana.

27. Anda harus melakukan perbuatan yang baik dan membuahkan, dan tinggalkanlah kekosongan.

28. Tinggalah semua kasak-kusuk, dan jangan percaya kepada kabar burung.

29. Kedengkian dan keinginan Anda yang kuat untuk membalas dendam itu hanya akan membahayakan kesehatan Anda sendiri. Lebih besar daripada bahaya yang akan menimpa pihak lawan.

30. Semua musibah yang menimpa diri Anda adalah penghapus dosa-dosa.





Mengapa Harus Bersedih Jika Anda Memiliki Enam Resep ?


Seorang bijak bestari sedang ditimpa musibah. Maka, datanglah teman-temannya mengucapkan keprihatinan mereka terhadap musibah yang menimpanya. Si bijak itu pun berkata,”Aku tahu ada satu obat yang terbuat dari enam resep berbeda.”

Teman-temannya pun bertanya,”Apa saja itu?”
Ia pun memaparkan jawabannya :
1. Percaya sepenuhnya kepada Allah.
2. Kesadaranku bahwa semua yang telah Allah takdirkan akan terjadi.
3. Sabar adalah senjata paling ampuh yang dipergunakan oleh orang-orang yang mendapatkan ujian.
4. Jika saya tidak sabar maka apa yang bias saya lakukan. Dan saya tidak akan terbantu dengan perasaan resah.
5. Mungkin saja saya akan berada dalam kondisi yang lebih jelek daripada kondisi saya sekarang ini.
6. Dari waktu ke waktu jalan keluar akan selalu terbuka.

[+/-] Selengkapnya...

Amerika dan Zionisme dan Israel

Kolaborasi Amerika Dengan Zionisme dan Israel



“…kemudian mereka melihat orang-orang telanjang, dan sang Admiral dengan perahu bersenjata mendarat. “Terekamlah dalam catatan kapal pertemuan pertama kali Colombus dengan penduduk asli Amerika, yang kemudian dipetakan oleh Colombus dengan nama Hispaniola”


"Di atas puing-puing reruntuhan aristokrasi kaum non-Yahudi, kita akan membangun aristokrasi dari kalangan klas terdidik kita, dan atas segenap aristokrasi keuangan.
Kita telah membangun basis bagi aristokrasi yang baru ini atas dasar kekayaan yang kita kendalikan, dan atas dasar ilmu-pengetahuan yang dibimbing oleh kaum bijak kita."
('Protokol yang Pertama')



Ekspedisi Columbus ke Amerika Dibiayai Yahudi

Ketika delegasi Amerika Serikat dan Israel melakukan walk-out bahkan sebelum Konperensi PBB di Durban, Afrika Selatan, dilangsungkan dari tanggal 29 Agustus sampai dengan 1 September 2001 dengan thema tentang "Rasisme, Xenophobia, dan Intoleransi", maka langkah memalukan itu memperlihatkan betapa Amerika Serikat bersedia melakukan apa saja derni kepentingan Israel.

Awal hubungan orang Yahudi dengan Amerika sudah dimulai sejak pendaratan Christoper Columbus (1451-1506) di Waiting Island, Bahama, pada tanggal 12 Oktober 1492. Tujuan perjalanan ini semula adalah untuk mencapai "kepulauan rempah-rempah" Maluku di Hindia Timur dengan mengambil rute ke arah barat yang belum pernah dijelajahi sebelumnya oleh peluul mana pun. Semula Columbus mengajukan usul permohonan ini kepada raja Portugis, tetapi permohonannya ditolak.


Christoper Colombus

Adalah suatu kebetulan pada tanggal 2 Agustus 1492 lebih dari 300.000 orang Yahudi diusir dari Spanyol, dan sehari kemudian, pada tanggal 3 Agustus 1492 Columbus berlayar ke arah barat, dengan membawa beberapa orang Yahudi bersamanya. Mereka bukan berstatus sebagai pengungsi, karena impian mualim itu ialah menimbulkan simpati pada beberapa orang Yahudi yang berpengaruh jauh-jauh hari sebelumnya. Columbus sendiri menceriterakan bahwa ia banyak mempunyai sahabat orang Yahudi. Surat pertama yang ditulisnya secara sangat mendetil tentang penemuannya di Benua Baru dikirimkannya kepada seorang Yahudi. Sebenarnya pelayaran yang bersejarah itu yang berjasa menambahkan pengetahuan kemakmuran kepada manusia tentang "separuh bagian bumi lainnya yang sebelumnya tidak diketahui" telah dimungkinkan berkat orang Yahudi.

Ada tiga orang "marano" atau "Yahudi rahasia" yang kebetulan mempunyai pengaruh kuat di istana Spanyol: mereka adalah Luis de Santagel, seorang saudagar besar dari Valencia, dan juga berperan sebagai pemungut pajak bagi kerajaan; keluarganya Gabriel Sanchez, yang menjadi bendahara kerajaan, dan sahabat mereka, penasehat kerjaan Juan Cabrero. Ketiga orang ini tanpa jemu-jemunya mengingatkan Ratu Isabella betapa kekayaan kerajaan kian hari kian susut, dan kemungkinan Columbus akan menemukan "pulau emas" di Hindia Timur, sehingga akhimya Sri Ratu bersedia menawarkan perhiasan-perhiasannya untuk digadaikan sebagai dana bagi pelayaran itu. Tetapi Santagel membujuk Sri Ratu untuk menberikan izin membayar panjar biaya pelayaran itu, yang jumlahnya sekitar 17.000 dukat, pada waktu itu sarna dengan 5.000 poundsterling, atau 40.000 poundsterling nilai uang masa kini.

Ikut dalam rombongan ekspedisi itu paling tidak lima orang "marano". Mereka adalah Luis de Torres, sebagai penterjemah; Alonzo de la Calle dan Gabriel de Sanchez, Marco, seorang ahli bedah; dan Bernal, scorang dokter umum, untuk melayani pelayaran tersebut. Ekspedisi pclayaran ini terdiri dari tiga kapal-layar, kapal Santa Maria sebagai kapal-bendera, diikuti lagi oleh dua kapal, yakni Nina dan Pinta, yang berangkat meninggalkan pantai Spanyol pada tangga13 Agustus 1492.

Ekspedisi Columbus berlayar ke arah barat-daya Spanyol menuju kepulauan Kanari, kemudian dari sana haluan diarahkan ke barat. Setelah menjalani pelayaran selama dua bulan sembilan hari ekspedisi itu "menemukan" Waiting Island di Bahama pada tanggal 12 Oktober 1492. Pelayaran diteruskan dan setelah menemukan pulau Kuba dan Hispaniola, ekspedisi ini kembali ke Spanyol. Sekembalinya di Spanyol Columbus dianugerahi pangkat laksamana dan dikaruniai jabatan sebagai gubemur atas pulau-pulau yang ditemukan dan yang akan ditemukan.

Columbus melakukan tiga kali lagi ekspedisi pelayaran ke "Benua Baru". Setahun kemudian pada bulan Oktober 1493 ia berlayar meninggalkan Spanyol, kali ini dengan 17 buah kapal, dengan rencana membangun tempat-tempat perdagangan dan koloni, dengan membawa serta beratus-ratus kolonis, termasuk di antara mereka para "marano". Ia membangun koloni pertama di pulau Hispaniolia, dan menemukan lagi pulau-pulau Puerto Rico, Jamaika, kepulauan Virgin dan Antilla. Dalam pelayarannya yang ketiga pada tahun 1498 mendarat di benua Amerika dan menemukan Trinidad.

Sahabat lama Columbus, Luis de Santagel dan Gabriel de Sanchez mendapatkan hak-hak istimewa yang banyak untuk jasa-jasa mereka sehubungan dengan ekspedisi itu, namun Columbus sendiri dikhianati oleh Bernal sang dokter, yang menghasut pemberontakan melawannya. Ia kembali ke Spanyol dan digantikan oleh Fransisco de Bobadilla sebagai gubernur untuk seluruh daerah yang baru ditemukan. Bahkan nama benua baru yang ditemukannya tidak diberi nama menurut namanya, tetapi diberi nama Amerika, nama seorang ' mualim Italia, Amerigo Vespucci (1454-1512). Dengan dua kali pelayaran (1499-1500 dan 1501-1512) menyusuri pantai Amerika Selatan, Amerigo Vespucci berkesimpulan yang ditemukan sama-sekali bukan benua atau bagian dari Asia. Nama “Amerika” pertama kali muncul di peta pada tahun 1507. Christoper Colombus sendiri meninggal dalam keadaan miskin dan terhina pada 1506.

Sejak dari awal orang Yahudi memandang Amerika sebagai lahan yang subur, dan arus migrasi orang Yahudi berlangsung dengan sangat deras ke Amerika Selatan, terutama ke Brazil. Luis de Torres, menetrap di Kuba dan disana ia mengusahakan perkebunan tembakau. Luis de Torres menjadi "Bapak Tembakau" yang memperkenalkan komoditas baru ini ke Eropa, dan mendapatkan keuntungan yang besar dari pedagangan itu. Tetapi karena adanya peperangan antara orang Portugis di Brazil dengan Belanda, orang Yahudi di Brazil merasa tidak aman dan terpaksa berpindah menuju koloni yang didirikan Belanda di Amerika Utara yang dinamai Nieuw Amsterdam.


Koloni Yahudi di Amerika

Koloni Belanda Nieuw Amsterdam (1624) berkembang jauh lebih maju daripada Kuba atau Brazil. Hubungan perdagangan Eropa dengan koloni Belanda ini berkembang pesat terutama ketika di bawah pemerintahan gubemur Pieter Stuyvesant. Peperangan yang melanda Brazil, dan kenyataan bahwa Nieuw Amterdam lebih menjanjikan, makin memperkuat tekad para "marano" untuk memindahkan pusat perdagangan mereka dari Amerika Selatan ke Nieuw Amsterdam.

Gubernur Pieter Stuyvesant tidak terlalu suka dengan kedatangan orang-orang Yahudi ke Nieuw Amsterdam, dan memerintahkan mereka meninggalkan koloni tersebut. Tetapi orang-orang Yahudi itu ternyata telah mengantisipasinya untuk menjamin mereka dapat tinggal menetap meski tidak diterima dengan senanghati. Entah apa yang mereka lakukan, Dewan Direktur Nieuw Amsterdam meralat perintah gubemur Pieter Stuyvesant, dan para Direktur itu memberikan salah satu alasan dari keputusan mereka menerima orang-orang Yahudi itu ialah "besarnya kapital yang telah diinvestasikan oleh mereka kepada Kompeni".

Namun, gubemur Stuyvesant tetap mengeluarkan berbagai peraturan, antara lain melarang orang Yahudi menjabat sebagai ambtenaar dan membuka bedrijf di bidang bisnis ritel di koloni Belanda tersebut. Para pedagang Yahudi itu tidak kehabisan akal. Mereka membuka perdagangan impor komoditas tertentu melalui koneksi mereka dengan para saudagar Yahudi di Eropa. Ketika hal itu juga dilarang juga oleh gubernur Stuyvesant, para pedagang Yahudi yang cerdik itu mengalihkan usaha mereka dengan berdagang pakaian karena tidak seorang pun saudagar yang cukup terhorrnat bersedia memperdagangkan barang-bekas. Bisnis pakaian-bekas laku keras terutama di kalangan migran Eropa yang pada umumnya masih hidup dalam kemiskinan. Adalah masyarakat Yahudi yang pertama kali menjadikan pakaian-bekas sebagai komoditas perdagangan di dunia. Bisnis itu di kemudian hari mereka kembangkan ke industri pakaian murahan, yang kini lebih dikenal dengan jenis pakaian ‘jeans’ dan 'denim' yang semula terbuat dari bahan kain layar (terpal) yang murah, kuat, serta tahan lama, yang terutama cocok bagi para pekerja di daerah pedalaman Amerika Serikat. Salah satu nama yang kesohor hingga sekarang adalah jean dari Strauss Levi.

Orang Yahudi adalah pedagang pertama di dunia yang memperdagangkan apa saja dari barang-bekas; mereka adalah kaum pemulung pertama di dunia; mereka membangun kekayaan mereka dari remah-remah peradaban. Mereka mengajarkan bagaimana memanfaatkan permadani tua, bagaimana membersihkan bulu-burung yang sudah lusuh, dan bagaimana memanfaatkan kulit kelinci murahan menjadi pakaian bulu yang menjadi tampak mahal. Mereka memiliki selera tinggi berdagang bahan dari bulu-buluan, yang kini menjadi keahlian khas mereka. Hal itu karena dibantu kenyataan adanya berbagai jenis bulu binatang, yang oleh mereka diberi berbagai nama- nama yang eksotik seolah-olah terbuat dari bulu binatang berkualitas tinggi. Tanpa sadar gubernur Stuyvesant telah membukakan pintu kepada orang Yahudi menjadikan Nieuw Amsterdam sebagai bandar perdagangan utama bagi Amerika.

Empat-puluh tanun kemudian koloni itu direbut oleh Inggeris pada tahun 1664, dan namanya diganti dengan nama baru New York, sebagai penghormatan kepada Duke of York (kemudian menjadi raja James II). New York menjadi tujuan imigrasi orang Yahudi ke Amerika Serikat sampai sekarang. Ketika terjadi Revolusi Amerika (1775-1783) masyarakat Yahudi yang bermukim di New York pindah berbondong-bondong ke Philadelphia. Setelah Revolusi Amerika berakhir orang-orang Yahudi itu balik kembali ke New York dan menjadikannya sebagai negara bagian dengan konsentrasi terbesar masarakat Yahudi di Amerika Serikat sampai saat ini. Orang-orang Yahudi menyebut kota New York sebagai "New Jerusalem" dan Pegunungan Rocky oleh mereka diberi nama yang bernuansa agama “Gunung Zion". Amerika oleh kaum Yahudi dipandang sebagai “Tanah yang Dijanjikan" yang sesungguhnya. Tidak mengherankan bila perkembangan komunitas Yahudi di Amerika Serikat melalui New York sangat pesat. Keberhasilan kaum Yahudi di Amerika Serikat dalam perdagangan, terutama di bidang pinjam-meminjamkan uang, sangat besar.

Pada tahun 1776 ketika masih berlangsung revolusi Amerika, jumlah merekaditaksir tidak lebih dari 4.000 jiwa. Lima puluh tahun kemudian, pada tahun 1826, angka itu membengkak menjadi delapan kali lipat, kira-kira 3.300.000 jiwa. Kaum Yahudi sudah terlibat dalam kehidupan politik sejak Perang Kemerdekaan Amerika melawan Inggris. Mereka memberikan dukungan berupa pinjaman dana untuk perang kepada Tentara Kontinental di bawah jenderal George Washington, sementara pada waktu yang bersamaan keluarga Rothschilds London membantu berupa pinjaman pula kepada kerajaan Inggris, Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh para pemimpin Amerika Serikat setelah usai perang.


Migrasi Besar-besaran Orang Yahudi ke Amerika Serikat

Sebagai akibat adanya 'pogrom' di Rusia, dan sikap anti-Semitisme yang luas di negara-negara Eropa Timur pada akhir abad ke-19, terjadi migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Amerika Serikat, Kanada, Amerika Latin, dan Australia. Pada tahun 1880 jumlah migran Yahudi ke Amerika Serikat mencapai 250.000 jiwa. Pada akhir PD I angka itu membengkak menjadi 4,0 juta jiwa (Abram Leon Sachar, 'History of the Jews', Alfred Knopf, New York, 1974, h.398). Perubahan jumlah populasi orang Yahudi yang massif itu, persoalan gelombang migrasi orang Yahudi ke Amerika Serikat, menjadi bahan obrolan di resepsi-resepsi bahkan sampai ke Gedung Putih. Presiden Wilson, isteri, dan pembantu presiden kolonel Edward M. House berspekulasi pada tahun 1918 tentang jumlah orang Yahudi yang ada di dunia. Kolonel House mengira-ngira paling tidak ada 15 juta orang Yahudi, Ny.Wilson 50 juta, dan Presiden Wilson 100 juta. Angka sebenarnya adalah 11 juta jiwa1. Banjir migrasi secara langsung menguntungkan perkembangan Zionisme, yang secara kebetulan didukung oleh Inggeris dan Amerika-Serikat.


Kaum Yahudi Menguasai Bisnis dan Industri

Untuk menyusun daftar bisnis yang dikuasai oleh orang Yahudi di Amerika Serikat akan menyentuh sebagian besar dari industri vital di negeri itu. Bisnis bidang teater mutlak telah menjadi bisnis orang Yahudi, produksi teater, penulisan naskah ceritera, operasi teater semuanya ada di dalam genggaman orang Yahudi. Berdasarkan fakta hampir semua produk teater dewasa ini dapat dideteksi sebagai propaganda bagi kaum Yahudi dan Israel, kadangkala berupa iklan yang gemerlapan, kadangkala pula berupa pesan politik tanpa tedeng aling-aling.

Industri perfilman, industri gula, industri rokok dan produk tembakau - lima-puluh persen dan mungkin lebih, pada industri pengepakan daging olahan - lebih dari enampuluh persen, pada industri alas-kaki bagian terbesar dari bisnis musik, permata dan perhiasan, gandum dan produk pertanian lainnya, kapas, minyak dan gas bumi, industri besi-baja, media-massa cetak, kantor berita, bisnis minuman keras, sekedar menyebut "beberapa" industri yang sayapnya menyapu usaha bisnis di dalam maupun di luar-pantai Amerika, semuanya ada di bawah kekuasaan modal Yahudi, baik secara berdiri-sendiri maupun berpatungan dengan usaha bisnis orang Yahudi di luar Amerika Serikat

Rakyat Amerika akan ternganga bila mereka mengetahui barisan “pebisnis Amerika" yang memegang prestise komersial dengan label Amerika di luar-negeri, Mereka umumnya orang Yahudi. Kiranya hal ini memberikan sedikit pemahaman tentang "peri1aku pebisnis Amerika" di sebagian besar dunia. Tatkala yang menjalankan bisnis atas-nama "Amerika", tetapi tidak menjalankannya sesuai dengan hukum setempat yang berlaku, tidaklah mengherankan bila ada orang-orang Amerika yang tidak mengakuinya seperti yang muncul apa adanya dalam pemberitaan pers. Jika karena hal itu reputasi bisnis Amerika tercemar, hal itu bisa saja terjadi, karena sesuatu yang tidak sesuai dengan etika dan metoda bisnis Amerika telah dipergunakan dengan menggunakan label Amerika.

Perihal suksesnya kemakmuran orang Yahudi di Amerika Serikat sudah menjadi sesuatu yang lumrah, tetapi kemakmuran yang merupakan hasil dari kemampuan melihat jauh ke depan dan bagaimana mengeterapkannya, hal itu tidak boleh dikacaukan dengan penguasaan. Adalah tidak mungkin bagi orang non-Yahudi dalam situasi yang sarna mencapai penguasaan bisnis itu yang telah lama dimenangkan oleh orang Yahudi. Di samping itu ada kekurangan pada orang non-Yahudi, yaitu tidak memiliki kualitas tertentu dalam kerja-sama, persekongkolan, dan keeratan hubungan berdasarkan ras, yang menjadi ciri khas dari kaum Yahudi. Bagi seorang non-Yahudi, orang lain yang non-Yahudi baginya tidak bermakna apa-apa; bagi seorang Yahudi, tetangganya yang juga Yahudi mempunyai arti yang luar biasa.

Rencana pemodal Yahudi internasional untuk memindahkan pasar-uang mereka ke Amerika Serikat merupakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh rakyat Amerika. Orang Amerika telah belajar dari sejarah apa yang bakal terjadi bilamana hal itu terlaksana. Hal itu telah menjadi pelajaran di Spanyol, Venesia, Jerman, atau Inggris yang dipersalahkan atau menjadi bulan-bulanan kecurigaan dunia akibat ulah dari pemodal Yahudi. Berdasarkan pertimbangan tadi sebagian besar dari sikap permusuhan terhadap Amerika Serikat dan Barat pada umumnya yang ada dewasa ini muncul karena ketidak-senangan orang terhadap apa yang dilakukan oleh kekuasaan keuangan kaum Yahudi di bawah kamuflase atas-nama "kepentingan nasional”.

"Orang Inggris yang melakukan hal ini". "Orang Jerman yang' melakukan hal ini", padahal sebenarnya masyarakat Yahudi internasional yang menjadi biang-kerok-nya. Negara-negara tidak lain dalam kenyataannya hanyalah bidak pada papan catur orang Yahudi, Hampir semua negara Barat sekarang ini memandang dunia melalui mata- Yahudi. Di seluruh dunia orang jarang menemukan juru-bicara untuk kepentingan Amerika yang bukan orang Yahudi. Amerika kini bahkan dipandang identik dengan Yahudi dan Israel.


Konspirasi Yahudi di Amerika

Bertahun-tahun di Amerika Serikat, para bankir Yahudi menghadapi kecaman dari berbagai kalangan yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Mereka yang mencurigai peran para bankir Yahudi itu berada pada posisi-posisi yang memungkinkan mereka memperoleh informasi dan mengetahui dengan baik apa yang tengah berlangsung di belakang layar politik dan keuangan tingkat tinggi. Presiden Thomas Jefferson dalam salah satu debat di Senat Amerika Serikat pada tahun 1809 menyatakan,

“Saya percaya institusi perbankan itu lebih membahayakan kebebasan kita daripada bala-tentara kolonial. Kalau saja rakyat Amerika Serikat mengizinkan bank-bank swasta (milik Yahudi) menguasai perputaran mata-uang, pertama melalui politik inflasi, kemudian melalui deflasi, maka bank-bank dan korporasi yang tumbuh di sekitar banl-bank tersebut, yang mampu merebut kekayaan rakyat sedemikian rupa, sehingga ketika anak-anak mereka bangun di suatu pagi hari, mereka tidak lagi memiliki harta kekayaan dan rumah-tinggak di negeri yang dibangun oleh para Bapak-bapak pendiri negeri negeri ini. Kekuasaan bank-bank (Yahudi) yang mulai tumbuh itu harus direbut dan dikembalikan kepada rakyat, yaitu pemilik syah dari kekayaan negeri ini".

Barulah presiden Amerika Serikat Andrew Jackson yang akhirnya berhasil melunasi "hutang nasional' pinjaman perang setelah 57 tahun kemudian sampai kepada angka nol pada tahun 1832, dan mengutuk para bankir Yahudi yang disebutnya tidak lebih daripada “segerombolan serigala" yang harus dikikis habis dari rajutan ekonomi dan kehidupan masyarakat Amerika. Jackson mengatakan, kalau saja rakyat Amerika memaharni bagaimana para serigala ini beroperasi di pentas keuangan Amerika "niscaya akan ada revolusi rakyat sebelum fajar menyingsing".

Anggota Konggres Louis T. McFadden yang duduk sebagai ketua Komisi Perbankan dan Keuangan Senat Amerika Serikat selama lebih dari sepuluh tahun menyatakan para bankir Yahudi merupakan "gerombolan penyamun yang mau memotong leher orang hanya sekedar untuk memperoleh satu dolar dari kantong korbannya..... Mereka mengendap-endap mengintai rakyat Amerika".

John F.Hylan, walikota New York, berucap pada tahun 1911 bahwa, "ancaman sesungguhnya terhadap republik kita adalah pemerintahan siluman, yang laksana seekor gurita raksasa membelitkan belalainya yang ficin terhadap kota-kota, negara-negara bagian, dan bangsa kita. Pada bagian kepalanya bercokol keluarga-keluarga para bankir yang biasanya disebut dengan nama keren 'bankir internasional”.

Bagaimana masyarakat Yahudi yang semula begitu dicurigai bahkan dibenci di Amerika Serikat, dewasa ini justeru mempunyai pengaruh yang sedemikian besamya nyaris dalam semua perumusan kebijakan nasional Amerika ? Bagaimana sesungguhnya hal itu dapat terjadi ?

Meskipun dikecam dan tidak disukai, pengaruh kaum Yahudi dalam kehidupan masyarakat di Amerika Serikat tidaklah kecil. Ketika terjadi perang dengan Inggris pada tahun 1812 seorang karikaturis Amerika, Thomas Nast, untuk pertama kali menampilkan gambar karikatur tokoh Paman Sam, seseorang dengan profil, pakaian, dan tutup-kepala khas Yahudi, yang diangkatnya dari tokoh Samuel Wilson (1766-1854), yang pada waktu itu menjabat sebagai inspektur perbekalan perang. Paman Sam bukan hanya diambil dari nama Samuel Wilson tetapi juga terkait dengan nama nabi kaum Yahudi di dalam Kitab Perjanjian Lama, seperti pada Kitab Samuel I dan Samuel II, juga dapat ditemukan pada Kitab Raja-Raja I dan II, dimana terdapat nama Samuel, Saul, David, dan Solomon. Bahkan lambang mata uang dolar - $ - oleh para pedagang uang Yahudi pada waktu itu diambil dari huruf-awal S yang ada pada nama Haykal Solomon (Solomon Temple), yang berlaku hingga hari ini.

"Masalah Yahudi" ada dimana pun orang Yahudi muncul, begitu ucap Theodore Herzl, karena menurutnya masalah itu memang ikut bersama mereka. Masalah itu muncul bukan karena jumlah orang Yahudi, karena di dalam setiap negeri selalu ada penduduk keturunan asing yang jumlahnya kadangkala justeru lebih besar daripada orang Yahudi. Masalah itu bukan karena kemampuan mereka sering diperbincangkan. Menurut Theodore Herzl, penyebab masalah itu perlu dipahami. Berikan kepada orang Yahudi kedudukan yang sama, dan paksa ia untuk taat kepada kaidah-kaidah yang berlaku, ia tidak akan menjadi lebih cerdik daripada orang lain; sebenarnya salah satu kualitas yang melekat pada orang Yahudi adalah semnangat kerjanya

“Masalah Yahudi" di Amerika misalnya tidak terletak pada jumlah orang Yahudi di negeri itu, bukan juga pada rasa iri terhadap kemajuan orang Yahudi. Masalah itu muncul berkenaan dengan pengaruh yang begitu besar dari orang Yahudi terhadap negara tersebut; di Amerika Serikat masalahnya adalah 'pengaruh Yahudi terhadap kehidupan Amerika'

Masyarakat Yahudi memiliki dan memanfaatkan pengaruhnya, mereka sendiri menyatakan demikian. Menurut klaim orang Yahudi, sebenarnya fundamental Amerika Serikat adalah agama dan budaya Yahudi, dan bukannya Kristen, dan sejarah negara tersebut seharusnya ditulis ulang dalam rangka memberikan pengakuan terhadap jasa-jasa kaum Yahudi. Kalau masalahnya hanya pada pengaruh, memang itu tidak dapat disangkal; tetapi mereka mengklaim seluruhnya - meski kenyataannya tidak seperti itu. Orang Yahudi bersikeras bahwa merekalah yang "memberikan Injil", "memberikan pemahaman tentang Tuhan", dan bahkan "memberikan agama" kepada orang Kristen, yang dinyatakan mereka berulang-ulang dalam publikasi polemik mereka - meski tidak satu pun dari klaim itu benar.

Sebenarnya masalahnya tidak terletak pada orang Yahudi, tetapi pada idea Yahudi, sementara masyarakatnya hanya berperan sebagai wahana dari idea tersebut. Dalam penyelidikan tentang 'masalah Yahudi" di Barat pada umumnya dan di Amerika Serikat pada khususnya perbedaan antara "pengaruh" dan "idea" telah ditemukan dan telah dapat didefinisikan.

Orang Yahudi itu berbakat sebagai juru-propaganda sejak lahimya. Karena hal inilah yang menjadi missi utama mereka. Sayangnya mereka hanya mempropagandakan ajaran dari agama mereka saja.Oleh karena itu maka dalam missi ini mereka gagal. Tak seorang pun di luar masyarakat Yahudi yang menjadikan ajaran agama Yahudi sebagai teladan. Kegagalan dalam hal ini, menurut kitab suci mereka, membuat mereka gagal di mana pun. Mengapa ? Karena mereka kini menjalankan missi tanpa ridha Tuhan. Bahkan para pernimpin mereka hanya sedikit yang berani mengklaim mereka membawa missi spiritual. Tetapi missi tentang idea itu tetap masih melekat di benak mereka dalam bentuk yang telah mengalami degenerasi; idea itu kini terefleksikan pada penyembahan kepada idea materialisme; telah berubah menjadi upaya pemupukan kekayaan tanpa etika, dan bukannya membangunnya menjadi penyalur untuk amal kebajikan.


Rothschilds dan Amerika

Adalah sangat na'ive untuk menyangka suatu keluarga yang begitu ambisius, begitu cerdik, dan bemafsu monopolistik seperti keluarga Rothschilds, akan mampu menahan diri dari godaan untuk tidak melibatkan diri mereka secara mendalam di front Amerika. Menyusul penaklukan mereka atas pasar uang di Eropa pada awal dasawarsa 1800-an, keluarga Rothschilds mengalihkan ke permata yang paling berharga di mata mereka - Amerika.

Amerika Serikat merupakan negara yang unik dalam sejarah. Konstitusi mereka secara khusus dirancang untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjaga agar warga-negaranya bebas dan sejahtera. Warga-negaranya terdiri dari kaum imigran yang mengidamkan agar dapat "menghirup udara kebebasan", dan tidak mengharapkan sesuatu kecuali diberikan kesempatan untuk hidup dan bekerja dalam lingkungan yang sedemikian merangsang. Pertumbuhan ekonomi Amerika yang begitu berhasil membuat Amerika Serikat menjadi pesona seluruh jagad. Berjuta orang dari berbagai benua berimigrasi ke Amerika Serikat, tidak terkecuali orang-orang Yahudi yang memandang Amerika sebagai "Tanah yang Dijanjikan".


Para bankir Yahudi kelas kakap di Eropa - khususnya dinasti Rothschilds dan kawan-kawannya - memandang pertumbuhan Amerika Serikat dari sudut pandang yang berbeda; mereka melihat hal itu sebagai ancaman utama bagi rencana mereka di masa depan. Harian terkemuka The Times of London yang dikuasai oleh modal Yahudi menyatakan,

"Jika kebijakan keuangan yang keliru yang berasal dari Republik Amerika Utara itu (yang dimaksud ialah adanya larangan Konstitusi Amerika untuk membuka usaha pinjam-meminjamkan uang oleh swasta, karena fungsi itu merupakan fungsi inhaeren pemerintah) akan dilestarikan menjadi suatu kebijakan, maka pemerintah yang bersangkutan akan mampu menyediakan dana dari diri mereka sendiri tanpa ongkos. Dengan itu pemerintah akan mampu membayar hutang-hutangnya dan menjadi bebas hutang (kepada bank-bank Yahudi). Negara itu akan menjadi makmur, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam sejarah pemerintahan yang beradab di seluruh dunia. Akibatnya segenap dana dan daya seluruh dunia akan pergi ke Amerika Utara. Pemerintahan seperti itu harus dihancurkan, karena ia akan dapat meruntuhkan semua kerajaan yang ada di seluruh permukaan bumi ini. "

Keluarga Rothschilds lalu mengirimkan rayap-rayap keuangannya untuk menghancurkan Amerika Serikat, karena negeri itu akan mencapai "kesejahteraan yang belum pernah ada taranya". Bukti pertama tentang keterlibatan keluarga Rothschilds di bidang keuangan Amerika Serikat muncul pada akhir 1820-an dan awal 1830-an, tatkala melalui agen mereka Nicholas Biddie, berjuang untuk mengalahkan langkah-Iangkah Presiden Andrew Jackson untuk memotong para bankir Yahudi. Keluarga Rothschilds kalah pada ronde pertama, yaitu ketika pada tahun 1832 Presiden Jackson memveto usaha untuk mengubah charter Bank of the United States (bank yang dikuasai oleh bankir-bankir Yahudi) untuk dijadikan bank sentral Amerika Serikat. Akibatnya pada tahun 1836 bank itu dinyatakan bankrut.


Konspirasi Yahudi untuk Menghancurkan Amerika Serikat

Pada tahun-tahun sesudah Kemerdekaan Amerika suatu hubungan bisnis berkembang antara kaum aristokrat penanam kapas di Selatan dengan industri katun di Inggris. Para bankir Yahudi di Eropa memandang hubungan bisnis ini merupakan titik-mati "tumit Achilles" Amerika Serikat, titik lemah yang dapat melumpuhkan Amerika Serikat yang masih muda itu.

Buku 'The Illustrated University History', 1878, h.504, menyebutkan bahwa negara-negara bagian di Selatan kala itu penuh dengan agen-agen Inggeris. Mereka ini berkomplot dengan politisi setempat untuk merongrong kepentingan Amerika Serikat. Mereka dengan hati-hati menebar propaganda yang berakhir menjadi pemberontakan terbuka dan menyebabkan pemisahan negara-bagian Karolina Selatan pada tanggal 29 Desember 1860. Dalam tempo hanya beberapa minggu enam negara bagian lainnya menyusul memisahkan diri membentul Konfederasi Amerika dengan Jefferson Davis sebagai Presidennya.

Pasukan negara-negara bagian yang memberontak itu menghadang pasukan Federal, merebut benteng-benteng, tempat-tempat pembuatan mata-uang (logam), dan apa saja yang mereka pandang sebagai milik pemerintah Federal. Bahkan beberapa anggota kabinet Presiden James Buchanan (1791-1868), presiden Amerika Serikat ke-15 (1857-1861 ), berkomplot untuk menghancurkan kepercayaan publik dan beberusaha meruntuhkan negara ke dalam kebangkrutan. Meskipun presiden Buchanan memandang masalah perbudakan merupakan hak dasar dari negara-bagian, namun ia tetap menyatakan mengutuk pemisahan-diri itu. Ia mengizinkan pengambilan keputusan apakah perbudakan diteruskan atau dihapuskan kepada penduduk masing-masing negara bagian. Pendek kata presiden James Buchanan tidak mengambil langkah apa pun untuk mengatasi pemisahan-diri negara-negara bagian itu, bahkan ketika sebuah kapal perang Amerika Serikat ditembaki oleh baterai-baterai artileri pertahanan Karolina Selatan, Sikap dan kebijakannya itu menyebabkan pecahnya partai Demokrat dan presiden Abraham Lincoln dari partai Republik memenangkan pemilihan presiden ke-16 pada tahun 1860 dan disumpah pada tanggal 1 Maret 1961.

Segera setelah dilantik presiden Abraham Lincoln memerintahkan dilakukan blokade terhadap pelabuhan-pelabuhan di Selatan untuk memotong bekal yang mengalir dari Eropa. Tanggal "resrni" awal Perangg Saudara ditetapkan pada 12 April 1861, ketika benteng Sumter di Karolina Selatan dibombardir oleh pasukan Konfederasi, meski sebenarnya Perang Saudara itu telah dimulai jauh sebelumnya.

Pada bulan Desember 1861 sejumlah besar pasukan Eropa (Inggeris, Pcrancis dan Spanyol) diberangkatkan menuju Meksiko sebagai pelecehan terhadap Doktrin Monroe, Langkah ini dilakukan bersamaan dengan bantuan besar-besaran dari negara-negara Eropa kepada Konfederasi, yang dengan kuat menunjukkan bahwa kerajaan Iggris menantang untuk berperang. Masa depan pihak Utara dan pemerintah Federal pada waktu itu memang suram !

Pada saat-saat krisis inilah presiden Abraham Lincoln menghimbau musuh bebuyutan Inggeris - yaitu Rusia - untuk terjun memberikan pertolongan. Ketika sampul surat presiden Lincoln berisi permohonan mendesak disampaikan kepada Tsar Nicolas II, tanpa membukanya ia menyatakan, "Sebelum kita membuka sampul surat ini dan mengetahui apa isinya, kita akan memenuhi permintaan apa pun yang disampaikan di dalamnya".

Tanpa pengumuman perang, sebuah armada Rusia di bawah pimpinan Laksamana Liviski menyandar di pelabuhan New York pada tahun 24 September 1863. Di pantai barat Amerika, Armada Pasifik Rusia di bawah pimpinan Laksamana Popov tiba di San Fransisco pada tanggal 12 Oktober 1863. Dengan langkah Rusia ini, Gideon Wells, mencatat, "Mereka (Rusia) tiba tatkala pihak Konfederasi tengah menikmati pasang-naik, sementara Utara menghadapi pasang-turun. Kehadiran Rusia menyebabkan Inggris dan Perancis beradu dalaml keraguan cukup lama untuk campur tangan".2

Sejarah membuktikan ternyata keluarga Rothschilds telah membiayai kedua belah pihak selama Perang Saudara. Presiden Abraham Lincoln agak meredam kegiatan mereka, ketika pada tahun 1862 dan 1863 ia menolak membayar bunga-pinjaman yang dipandangnya sebagai pemerasan oleh keluarga Rothschilds, dan membayamya dengan surat-surat berharga pemerintah Amerika yang-bebas-bunga berdasarkan wewenang konstitusi. Untuk hal seperti ini, dan tindakan lainnya oleh Lincoln yang merugikan para bankir Yahudi, ia ditembak mati secara berdarah-dingin oleh John Wilkes Booth, seorang pemain teater, pada tanggal 14 April 1865, hanya lima hari setelah Jenderal Lee menyerah kepada Grant di kantor pengadilan negeri Appomatox, Virginia.

Cucu Booth, Izola Forrester menerangkan di dalam bukunya "This One Mad Act, bahwa pembunuh presiden Lincoln itu telah lama berhubungan dengan beberapa orang Eropa yang misterius sebelumnya, dan ia telah melakukan perjalanan paling tidak satu kali ke Eropa. Menyusul pembunuhan itu Booth dibantu dan disembunyikan oleh anggota organisasi rahasia Yahudi "Knights of the Golden Circle". Konon menurut penuturan cucu John Wilkes Booth, penulis Izola Forrester, kakeknya hidup dengan tenang sampai hari tuanya sesudah ia menghilang.


Perjuangan para Bankir Yahudi


Tanpa putus-asa sebagai akibat kegagalan awal untuk menghancurkan Amerika Serikat, para bankir Yahudi terus berusaha mencapai tujuan mereka dengan semangat yang tak kunjung padam. Antara akhir Perang Saudara tahun 1865 sampai 1914, agen-agen utama mereka di Amerika Serikat adalah Kuhn, Loeb and Company, dan J.P.Morgan Company. Sebuah sejarah singkat tentang Kuhn, Loeb, and Company, muncul dalam majalah Newsweek edisi 1 Februari 1936 :

"Abraham dan Solomon Loeb adalah pedagang serba-serbi di Lafayette, Indiana, pada 1850. Seperti biasanya di daerah-daerah yang baru dibuka, hampir semua transaksi didasarkan pada sistem kredit. Mereka tidak perlu lama untuk menyadari bahwasanya mereka sebenarnya telah berperan sebagai bankir. Pada tahun 1867 mereka mendirikan badan usaha 'Kuhn, Loeb and Company', sebuah bank berkedudukan di kota New York. Pada tahun itu juga 'Kuhn, Loeb and Company' menerima seorang imigran muda Jerman, Jacob Shiff sebagai mitra, Schiff mempunyai koneksi dengan seorang tokoh keuangan yang penting di Eropa. Sepuluh tahun sesudah itu, setelah Kuhn pensiun, Jacob Schiff diangkat menjadi kepala kantor 'Kuhn, Loeb and Company' di New York. Di bawah pimpinan Jacob Schiff, perusahaan 'itu mulai menanamkan investasimya ke sektor industri di Amerika " .

"Koneksi tokoh keuangan penting di Eropa" yang disebut-sebut tentang Jacob Schiff adalah Rothschilds melalui perwakilan mereka M.M. Warburg Company di Hamburg dan Amsterdam. Dalam tempo dua-puluh tahun, melalui koneksi dengan Warburg-Schiff, keluarga Rothschilds menyediakan modal yang dibutuhkan, yang memungkinkan John D.Rockefeller mampu memperluas kcrainolll minyaknya, Standard Oil. Jaringan koneksi Yahudi ini juga mendanai kegiatan Edward Harriman (perkereta-apian) dan Andrew Carnegie (industri baja).

Pada penghujung awal abad ke-20 keluarga Rothschilds yang tidak puas dengan kemajuan yang dicapai oleh operasi-operasinya di Amerika Serikat, memutuskan untuk mengirimkan pakar puncaknya, Paul Moritz Warburg, ke New York, untuk mengambil alih komando serangan terhadap Amerika Serikat. Pada suatu sidang dengar pendapat di US House of Representative tentang Perbankan dan Keuangan pada tahun 1907, Paul Warburg mengungkapkan bahwa ia adalah "anggota usaha bank 'Kuhn, Loeb and Company'. Saya tiba di negeri ini pada tahun 1902, lahir dan mendapatkan pendidikan dalam bisnis perbankan di Hamburg, Jerman, dan melanjutkan studi tentang perbankan di London dan Paris, dan telah bepergian keliling dunia ..." Pada akhir dasawarsa l800-an sangat jarang orang melakukan "studi di London" dan "berkeliling dunia", terkecuali kalau ia mendapat suatu missi khusus!

Pada awal1907, Jacob Schiff, bos dari Paul Warburg di 'Kuhn, Loeb, and Company', New York, dalam salah satu pidatonya di The New York Chamber of Commerce memperingatkan masyarakat keuangan dan bisnis Amerika Serikat, bahwa "Sekiranya kita tidak mempunyai suatu bank sentral tanpa wewenang kontrol yang memadai terhadap sumber-sumber kredit, tak syak lagi negara ini akan mengalami kepanikan keuangan yang paling dahsyat dan berdampak panjang dalam sejarahnya".

Tidak lama setelah peringatan itu Amerika Serikat terpuruk ke suatu krisis keuangan yang bercirikan "tangan" Rothschilds yang direncanakan dengan teliti. Panik yang menyusul menyebabkan kekayaan berpuluh ribu rakyat yang tidak tahu-menahu di seluruh negeri - dan bermilyar-milyar lagi di kalangan elit perbankan, punah. Tujuan dari "krisis" ini ada dua : (1) menghabisi pemain "insider", dan, (2) meyakinkan rakyat Amerika akan "sangat diperlukannya" suatu bank sentral.

Paul Warburg mengatakan kepada Komisi Perbankan dan Keuangan US House of Representative, bahwa "Pada waktu panik tahun 1907, saran pertama yang saya ajukan adalah kita memerlukan sebuah 'clearing house' (Bank Sentral). Rencana Aldrich (untuk Bank Sentral tersebut) memuat banyak ketentuan yang bersifat mendasar tentang perbankan. Tujuan Komisi yang terhormat haruslah sama. ".

Tanpa kenal letih para bankir Yahudi akhirnya berhasil mencapai coup mereka yang terbesar hingga saat ini, ketika presiden Amerika Serikat ke-28, Woodrow Wilson (1856-1924), pada tahun 1913 menanda-tangani pembentukan The US Federal Reserve System, yang lebih dikenal dengan sebutan the Fed. Dengan penanda-tanganan itu presiden Woodrow Wilson memindahkan wewenang departemen keuangan pemerintah federal kepada sebuah perusahaan swasta, the Federal Reserve dan cabang-cabangnya yang ada di berbagai negara bagian, yang memiliki kekuasaan melakukan kontrol terhadap keuangan Amerika Serikat secara ketat oleh kaum monopolis Yahudi yang gila duit. Paul Warburg menjadi ketua "the Fed"-nya yang pertama.

Anggota Konggres Charles Lindbergh tetap berkeyakinan ketika ia ,menyatakan beberapa waktu sesudah undang-undang tentang the Federal Reserve diloloskan oleh Konggres pada tangga1 23 Desember 1913, "Undang-undang ini membuktikan sebuah kebenaran di muka bumi ini. Ketika President (Wilson) menanda-tangani undang-undang ini, pemerintahan siluman atas kekuasaan keuangan dilegalisasikan .. Kejahatan terbesar pada zaman ini mulai dijalankan melalui undang-undang perbankan dan keuangan ini”.

Sesudah itu peran "the Fed" begitu menentukan, dan menjadi penentu dari semua perundangan hukum di Amerika Serikat. Penanda-tanganan itu membuktikan kebenarana ucapan Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812), pendiri dinasti Rothschilds,yang mengatakan, "Berikan kepada saya kesempatan mencetak dan mengendalikan keuangan suatu bangsa, dan dengan itu saya tidak peduli siapa yang membuat hukum di negeri itu". "The Fed pada dasarnya kini adalah negara di dalam negara Amerika Serikal itu sendiri.3


The US Federal Reserve, Negara dalam Negara

The US Federal Reserve adalah suatu badan usaha milik swasta yang berperan sebagai pengatur utama, dan yang menguasai institusi perbankan Amerika Serikat. Kedudukan tunggalnya yang terpenting ialah menetapkan kebijakan moneter; banyak para ekonom yang mempercayai the Fed mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jalannya daur bisnis di Amerika Serikat. Eustace Mullins (1983) dan Gary Kah (1991) masing-masing telah menulis sebuah buku yang isinya memuat hasil penelitian mereka yang bermuara kepada pembuktian, ternyata sekelompok elite bankir swasta (Yahudi), dan bukannya pemerintah Amerika Serikat-lah, yang memiliki dan mengendalikan the Fed. Lebih lanjut kedua penulis tersebut menemukan, penguasa bayangan tersebut telah menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi pasar uang dan mengendalikan ekonomi Amerika Serikat, dan melalui kekuasaan itu mengendalikan politik Amerika Serikat.

The US Federal Reserve Bank of New York

Fokus kedua buku itu memusat kepada The Federal Reserve Bank of New York. Apa yang sering disebut orang dengan nama the Fed sebenarnya terdiri dari dua peringkat: pertama, ada 12 buah Federa Reserve Bamk tingkat wilayah seperti The Fed of New York, dan Dewan Gubernur yang mengendalikannya (Alan Greenspan adalah ketua Dewan itu sekarang ini). Gary Kah menuduh orang-orang Yahudi secara langsung memiliki the New York Fed, lembaga bank terbesar dan paling penting di antara selusin bank-bank the Fed yang ada di negara-bagian lainnya. Melalui bank the New York Fed ini para kolaborator yahudi mengendalikan keseluruhan Sistem Federal Reserve dan menuai keuntungan raksasanya. Eustace Mullins sepakat mengenai betapa pentingnya the New York Fed, tetapi menurutnya lembaga itu hanya diniliki secara tidak langsung oleh orang-orang Yahudi.- melalui sebuah perhimpunan perbankan Eropa yang disebutnya dengan nama "London Connection" yang mengendalikan the Fed dari seberang lautan.

Ada 12 buah Federal Reserve Bank. Panah di samping menunjuk pada huruf “G” yang merupakan kode bahwa dollar tersebut dikeluarkan oleh Federal Reserve Bank of Chicago, illonois

Apakah tuduhan itu benar ? Bagian ini akan memfokuskan apakah benar orang Yahudi memiliki the Federal Reserve Bank of New York, baik langsung maupun tidak-langsung? Apakah mereka mengendalikan seluruh saham Sistem Federal Reserve, dan apakah orang-orang Yahudi itu menerima keuntungan tahunan yang besar ?

The US Federal Reserve Bank yang dua-belas wilayah itu diorganisasikan sebagai sebuah 'holding company', seperti halnya perusahaan-perusahaan lainnya. Menurut Gary Kah, orang-orang Yahudi itu memiliki kepentingan atas pengendalian saham the New York Fed. Menurut keterangan yang diperolehnya dari kontak-kontak dengan para pialang uang Swiss dan Saudi Arabia ada delapan pemegang saham terbesar terhadap the US Federal Reserve yaitu:
1. Rothschilds Bank of London
2. Rothschilds Bank of Berlin
3. Israel Moses Seif Bank of Italy
4. Warburg Bank of Hamburg
5. Warburg Bank of Amsterdam
6. Lazard Brothers of Paris
7. Lehman Brothers of New York
8. Kuhn and Loeb Bank of New York
9. Chase Manhattan Bank of New York dan
10. Goldman-Sachs of New York 4

Gary Kah juga menjelaskan kelompok bankir Yahudi ini adalah "Pemegang Saham Kelas A" dari bank tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena Federal Reserve Stock tidak mengurutnya seperti ini. Klasifikasinya bisa termasuk ke dalam "member stock" atau "public stock", dan tak pernah terdengar adanya "Class A stock". Memang para direktur the US Federal Reserve Bank dipilah-pilah menurut kelas A, B, C, tergantung bagaimana mereka diangkat. Barangkali hal inilah yang menjadi sumber kebingungan bagi Gary Kah.

Eustace Mullins menyusun daftar yang sarna sekali berbeda. Ia melaporkan bahwa delapan pemegang saham terbesar pada the New York Fed adalah :
1. Citibank
2. Chase Manhattan Bank
3. Moran Guarantee Trust
4. Chemical Bank
5. Manufacturers Hanover Trust
6. Bankers Trust Company
7. National Bank of North America
8. Bank of New York

Menllrut Mullins, bank-bank ini pada tahun 1983 memiliki saham mencapai 63% dari stok The New York Fed. Bank-bank Amerika tersebut pada gilirannya sebenarnya dimiliki oleh lembaga-lembaga keuangan Yahudi di Eropa. Ketika bank-bank komersial di New York Fed memilih dewan direktur, London Connection mampu menggunakan kaki-tangan mereka di Amerika untuk menentukan pengangkatan para direkturnya dan akhirnya mengendalikan seluruh sistem Federal Reserve. Ia menjelaskan :

". .. Mereka yang paling berkuasa di pemerintahan Amerika Serikat sendiri masih harus bertanggung-jawab kepada suatu kekuasaan yang lain, suatu kekuasaan asing, dan suatu kekuasaan yang telah dengan gigih memperluas kekuasaannya terhadap republik muda sejak awal berdirinya. Kekuasaan itu adalah kekuasaan keuangan dari Inggeris, berpusat di Keluarga Rothschilds Cabang London. Kenyataan bahwa pada tahun 1910, Amerika Serikat dikuasai dari Inggris seperti halnya sekarang ini."5

Mullins mencatat lebih jauh, bahwa pada hari tatkala the Federal Reserve Act diundangkan pada tahun 1913, "Konstitusi berakhir sebagai perjanjian yang mengatur kehidupan rakyat Amerika, dan kebebasan kita telah dipindahkan kepada sekelompok kecil bankir internasional (Yahudi)" 6.

Pada tanggal 30 Juni 1997 the New York Fed melaporkan delapan buah bank terbesar pemiliknya, yaitu :
1. Chase Manhattan Bank
2. Citibank
3. Morgan Guarantee Trust Company
4. Fleet Bank
5. Bankers Trust
6. Bank of New York
7. Marine Midland Bank, dan
8. Summit Bank

Meski semua pemegang saham utama tampak sebagai bank milik nasional atau bank-bank yang terdaftar di negara bagian, tetapi Mullins menemukan bahwa kepemilikan dan kontrol terhadap bank-bunl tersebut tetap ada di tangan pemilik modal Yahudi yang menjalankannya secara tidak langsung melalui kepemilikan saham mereka pada bank-bank domestik tersebut. Karena bank-bank di pusat keuangan New York adalah pemilik saham terbesar pada the New York Fed, orang-orang Yahudi tersebut tetap mempunyai wewenang untuk mengangkat presiden dan anggota dewan komisaris menurut selera mereka. Melalui wewenang ini, dan London Connection, mereka memiliki kontrol atas operasi-operasi the Fed dan kebijakan moneter Amerika Serikat.


Kaum Zionis Mendorong Amerika Serikat Memasuki Perang Dunia ke-1

Seorang tokoh Yahudi di Amerika Serikat, yang berhasil mencapai puncak karier menjadi hakim agung, ialah Louis Brandeis di mahkamah Agung Amerika Serikat. Mulanya ia seolah-olah bersikap netral atas masalah Zionisme ketika presiden Woodrow Wilson mengangkatnya. Tetapi sikap itu berubah sarna sekali, dan ia menjadi pendukung Zionisme yang sangat keras atas sikap presiden Wilson, jika Amerika Serikat bimbang untuk memutuskan apakah terjun atau tidak ke dalam Perang Dunia I. Hakim agung Louis Brandeis adalah tokoh Zionis pertama yang berhasil memasuki lingkaran pusat pengambil keputusan politik di pusat kekuasaan Amerika Serikat.

Kekalahan Jerman dalam PD I itu memungkinkan Inggris mempertahankan jurisdiksinya atas Palestina, dan dengan itu Inggris akan mengizinkan kepada kaum Zionis untuk membangun koloninya di Palestina. Meski PD I diawali pada tahun 1914, tetapi pada tahun 1917 perang itu tengah menghadapi kebuntuan, yaitu ketika Amerika Serikat terjun ke dalam kancah perang tersebut. Perang itu berakhir pada tahun 1918 dengan kemenangan di pihak Inggris dan kekalahan menimpa Jerman.

Perang itu sendiri merupakan sesuatu yang sangat kontroversial. Di perlukan waktu tiga tahun lamanya bagi kaum yang memiliki kepentingan, seperti kaum Zionis, untuk meyakinkan agar Amerika Serikat terjun ke dalam perang tersebut. Pihak kepentingan lainnya yang menghendaki Amerika Serikat terjun ke dalam kancah peperangan adalah para bankir dan pedagang (yang umumnya juga Yahudi), yang ketakutan akan kehilangan keuntungan dan kekayaan mereka di Eropa bila sampai Inggris dan Perancis mengalami kekalahan. Kekalahan Jerman diperlukan untuk melindungi para "Saudagar Kematian", begitulah julukan yang diberikan kepada mereka ketika Amerika Serikat terjun ke dalam kancah PD I. Kekalahan Jerman sangat mendesak untuk menjamin kepentingan kaum Zionis di Palestina.

Ketika Jerman dikalahkan, orang Yahudi di Jerman dipandang sebagai pengkhianat, karena hubungan mereka yang unik dengan kelompok internasional yang berkepentingan dengan kekalahan Jerman. Hal ini makin meningkatkan sentimen anti-Semitisme yang memang sudah hidup di Jerman berabad-abad. Maka orang Yahudi di Jerman berada dalam kesulitan. Mereka memerlukan negara-negara untuk tempat pelarian. Dua negara yang dianggap paling cocok adalah Amerika Serikat dan Palestina. Masalah yang dihadapi pada waktu itu Amerika Serikat sedang mengeluarkan sebuah undang-undang yang membatasl imigrasi, sementara Palestina tidak cukup memiliki infra-struktur untuk menerima imigrasi Yahudi dalam jumlah besar-besaran Jawabannya menurut pendapat kaum Yahudi, Amerika Serikat harus bisa menerima semua imigran Yahudi yang ingin datang ke negara tersebut. Mereka melobi pemerintah Amerika Serikat sampai dengan terjadinya PD II, tetapi pemerintah Amerika Serikat tetap bersikukuh dengan undang-undang imigrasinya, dan kaum Yahudi kemudian menyalahkan pemerintah Amerika Serikat atas penderitaan yang dipikul oleh orang Yahudi selama perang tersebut. Mereka menyalahkan pemerintah Amerika Serikat, meskipun mereka memahami korban itu akan tetap terjadi, meski Amerika Serikat ikut terjun ke PD II.

Sesudah perang orang Yahudi makin meningkatkan usaha mereka membuka pintu perbatasan Amerika Serikat, sampai pemerintah Amerika Serikat tidak lagi bisa menolak masuknya gelombang inigrasi Yahudi ke Amerika. Pada tahun 1965 pembatasan irnigrasi yang "rasialistik" itu di cabut oleh pemerintahan Lyndon B. Johnson.

Masalah kesetiaan pada hakekatnya merupakan isu sentral. Kelompok politik di Amerika Serikat seharusnya berfungsi untuk menjamin kepentingan nasional Amerika Serikat. Namun adalah suatu kenyataan bahwa kelompok Yahudi yang cukup besar di Amerika Serikat memiliki ikatan kultural, politik dan ekonomi dengan Israel. Salah satu kegiatan mereka ialah berusaha mendorong imigrasi orang Yahudi dari segala penjuru dunia ke Amerika Serikat.


Yahudi Menginfiltrasi Pemerintahan Amerika Serikat


Peran lobi Yahudi di dalam pemerintahan Amerika Serikat terutama sekali sangat meningkat pada masa pemerintahan presiden Franklin Delano Roosevelt (1882-1945), Presiden Roosevelt telah membukakan jabatan-jabatan yang begitu luas kepada orang-orang Yahudi ke dalam birokrasi pemerintahan Amerika Serikat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tokoh elit penganut gereja Episkopal ini adalah seorang politikus ulung. Para pemimpin buruh dari kalangan Yahudi khususnya sangat menyenangi Roosevelt. David Dubinsky dari The International Ladies Garment Workers Union mengenang betapa Roosevelt ketika masih menjabat sebagai gubernur negara bagian New York memanggil para eksekutif industri ke kantornya di Albany dan memaksa para eksekutif industri itu untuk menyepakati luntutan buruh mereka. Sebagai gubernur, Roosevelt sering menemui seorang sahabat dekatnya khusus untuk mendapatkan nasihat bila menghadapi masalah hukum yang musykil dalam rangka memprakarsai perundangan sosial yang direncanakannya bagi negarabagian New York yang dipimpinnya. Sahabat lamanya itu ialah Felix Frankfurter, seorang profesor hukum Yahudi di Harvard. Sebenarnya bukan hanya Felix Frankfurter. Nama-nama seperti Henry Morgenthau, Jr., Samuel Rosenman, Benjamin Cohen, David Niles, Anna Rosenberg, Sidney Hillman, dan David Dubensky, adalah nama-nama yang kondang sebagai anggota "dapur kabinet" Roosevelt. Yang menjadi anggota "dapur kabinet" bukan hanya para politisi dan administrator, tetapi juga seorang Rabbi Stephen Wise, tokoh terkemukaZionisme Amerika, dan anak-perempuannya Justine Polier. Keduanya memiliki akses sedemikian rupa ke Gedung Putih, yang tidak dimiliki oleh siapa pun.

Sesudah bulan Maret 1933 para ahli hukum yang kebanyakan terdiri dari pemuda Yahudi, yang dikirimkan oleh Felix Frankfuter ke kantor Roosevelt semasa sebagai gubernur negara bagian New York di Albany, pada umumnya dibawa-serta oleh Roosevelt ke Washington ketika ia terpilih sebagai presiden Amerika Serikat pada tahun 1933, sesudah ia berhasi1 mengalahkan saingannya Herbert Hoover. Para imigran baru itu dijuluki dengan nama "Frankfurter's happy hot dog". Di antara angkatan pertamanya adalah Benjamin V.Cohen, yang direkrut untuk membantu merancang perundangan darurat menangani krisis di Wall Street. Cohen, James McCaulkey Landis, dan Thomas G.Corcoran, senantiasa berhubungan melalul telepon dengan Frankfurter di Cambridge, ketika merancang Securities Act tahun 1933 yang didasarkan pada gagasan bahwa korporasi korporasi pada dasarnya adalah bagian dari pemerintahan, dan oleh karenanya patut diatur oleh pemerintah. Gagasan itu mungkin nampaknya agak radikal, tetapi hal itu tidaklah radikal menurut pandangan masyarakat Yahudi dan menurut pengakuan ajaran kitah Talmud bahwa "kepemilikan pada dasarnya adalah obyek sosial, dan oleh karena itu tunduk kepada kontrol sosial".

Tim Corcoran dan Cohen yang dengan bebas keluar-masuk Gedung Putih menjadi terkenal dengan julukan "si kembar emas". Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikenal dengan nama "rumah merah kecil" di "R" Street, Georgetown. Corcoran adalah tokoh yang berpenampilan necis dan ramah sebagai tokoh depan, sedangkan Cohen agak pemalu, seorang jenius berkacamata tebal, yang bekerja sampai jauh malam memikirkan bagaimana caranya agar apa yang mereka rancang bersesuaian dengan konstitusi. Mereka membuat proyek demi proyek. Setelah menyusun rancangan 'Securities and Exchange Act' tahun 1934, mereka menyiapkan 'the Public Utility Holding Act' tahun 1935, 'the Federal Communication Act', undang-undang pembentukan 'Tennessee Valley Authority', 'the Wagner Act', dan 'the Minimum Wages Act'. Sementara Frankfurter menentukan nadanya dan Corcoran yang berpenampilan rapih bertugas untuk berbicara di Gedung Putih dan Capitol Hill, Cohen tetap menyibukkan dirinya dengan terus bekerja. Meski Cohen tidak pernah mengakui hahwa ia yang paling bertanggung-jawab dengan penulisan pnundangan dari kabinet 'New Deal'-nya Roosevelt, sebenarnya menurut Joe Rauh, "Ben sesungguhnya adalah otak yang memimpin tim ini. Bahkan Felix Frankfurter biasa menemuinya untuk meminta nasihat dan pendapatnya." Cohen adalah seorang yang sangat rendah hati, selalu mengatakan, "Corcoranlah orangnya".

Nasihat yang lebih berprestisius datang dari seorang Yahudi lain lagi, Louis Dembitz Brandeis, yang menduduki jabatan sebagai hakim agung di Mahkamah Agung sejak tahun 1916. Ia memberikan pendapatnya bagaimana suatu rancangan undang-undang itu disusun agar tidak bertubrukan dengan konstitusi, dengan cara menekankan pada falsafah yang tetap dianutnya, bahwa korporasi yang makin besar akan menjadi makin berbahaya terhadap kesejahteraan masyarakat.

Cohen, Frankfurter dan Brandeis belum termasuk golongan eselon puncak. Masih ada 1agi beberapa orang Yahudi yang memasuki kclompok orang-dalam Roosevelt di atasnya. Abe Fortas ditugasi scbagai sekretaris bidang ekonomi, Mordecai Ezekiel ditugasi di departemen pertanian sebagai ahli ekonomi, Henry Morgenthau, Jr. menjadi menteri keuangan, Charles Wyzansky menteri perburuhan, Isador Lubin menduduki jabatan sebagai kepala biro statistik perburuhan, yang dalam prakteknya menjadi penasehat ekonomi presiden FDR, David Niles menjadi orang pertama yang kini dikenal sebagai pejabat Gedung Putih untuk urusan minoritas; Joe Rauh muda ditugasi membantu Niles, setelah bertugas sebagai staf bidang hukum mula-mula kepada hakim Cardozo, kemudian kepada Frankfurter setelah penugasannya selesai di pengadilan; kemudian ada lagi yang bernama Bernard Baruch, David Lilienthal, dan Sam Roseman (orang yang meneiptakan nama 'New Deal' bagi kabinet FDR), dan ini hanya beberapa nama dari sekian banyak orang Yahudi yang mengelilingi presiden Amerika Serikat.7


Dukungan Kepada Israel sebagai kekuatan Nuklir

Amerika Serikat tidak pernah mau mentoleransi negara manapun untuk mengembangkan dirinya menjadi kekuatan nuklir. Sikap politik ini tidak berlaku terhadap Israel. Shimon Peres yang pernah menjabat sebagai perdana menteri Israel adalah salah seorang promotor untuk menjadikan Israel sebagai kekuatan nuklir di luar klub nuklir yang ada. Tujuannya adalah menjadikan kekuatan nuklir yang ada di tangannya sebagai kekuatan penangkal terhadap negara-negara lawannya di Timur Tengah, meski tidak tertutup kemungkinan lsrael akan dengan senang hati menggunakannya.

Rencana untuk membangun kekuatan nuklir Israel telah dimulai sejak tahun 1955, tetapi badan-badan intelijen Amerika Serikat pura-pira tidak tahu dan seolah-olah baru mencium reneana tersebut kira-kira tiga tahun kemudian. Kompleks bangunan yang didirikan di kola Dimona, di padang pasir Negev, sudah ditengarai oleh badan intelijen Amerika Serikat sebagai fasilitas nuklir utama, begitu menurut Avner Cohen dalam bukunya "Israel and the Bomb".

Gagasan untuk mengembangkan senjata nuklir Israel bermula dari persekutuannya dengan Perancis pada talmn 1955, tujuh tahun setelah kelahiran negara tersebut, yang menyetujui memberikan bantuan teknologi canggih yang dibutuhkan oleh Israel. Proyek nuklir di Dimona mulai dibangun pada tahun 1958, yang dinyatakan sebagai "pabrik metalurgi", dan kadangkala disebut juga sebagai "pabrik tekstil". Proyek Dimona itu baru menjadi pengetahuan publik pada bulan Desember 1960. Atas dasar itu presiden Kennedy memaksa Israel untuk mengizinkan dua orang ilmuwan Amerika Serikat untuk memeriksa reaktor tersebut, karena ia ingin menjamin bahwa reaktor itu dikembangkan hanya untuk maksud-maksud damai, dan tidak berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir.

Israel tidak pernah mengakui memiliki senjata nuklir, kecuali menyatakan bahwa Israel "tidak akan pernah menjadi negara pertama yang akan menggunakannya di kawasan tersebut". Namun badan-badan intelijen Barat melaporkan dan merasa yakin, bahwa Israel telah mengembangkan dirinya menjadi satu-satunya negara nuklir di Timur Tengah. Menurut Avner Cohen, Israel telah memiliki kemampuan nuklir operasional sejak sebelum Perang Enam-Hari pada bulan Juni 1967. Selama terjadi ketegangan karena krisis tersebut, kemampuan itu dengan eepat diubah menjadi kemampuan operasional. Pada malam-hari menjelang pecahnya perang, Israel melakukan improvisasi yang menghasilkan dua hulu-Iedak yang dapat segera digunakan. Kenyataan itu dikonfirmasi oleh pernyataan Myer Feldman, deputi penasehat keamanan di Gedung Putih baik semasa pcmerintahan Kennedy maupun Johnson. Beberapa orang di kalangan komunitas intelijen Amerika Serikat telah mengetahui, atau setidaktidaknya mempereayai, Israel telah menguasai materiel maupun komponen untuk membuat sedikit-dikitnya untuk dua buah born nuklir.

Pada tahun 1963 presiden John F.Kennedy, presiden Katolik pertama di Amerika Serikat, menanyakan soal reaktor Dimona, dan dengan sepucuk surat bertanggal 18 Mei 1963 ia menyatakan kepada perdana menteri Israel pada waktu itu, David Ben-Gurion, bahwa hubungan dengan Israel akan sangat terganggu ('seriously jeopardized') bila Amerika Serikat tidak diberi informasi yang benar tentang program nuklir Israel. Pertanyaan presiden Kennedy itu membuat para pejabat Israel sangat gusar. Presiden Kennedy memperlihatkan sikap yang oleh mereka dipandang tidak menyetujui proyek nuklir Israel. Pada tahun 1963 itu juga, presiden Kennedy dalam sebuah National Security Memorandum yang bersifat rahasia memerintahkan kepada departemen luar-negeri dan pertahanan, CIA, dan Komisi Enerji Atom, untuk meningkatkan pengamatan oleh intelijen Amerika Serikat atas program nuklir Israel dan mengarahkan untuk melakukan inspeksi atas Dimona. Pemerintah Israel tidak dapat menerima pesan surat presiden Kennedy dan kehendak Kennedy untuk mengawasi proyek nuklir di Dimona.

Sehubungan dengan adanya konflik kepentingan dengan presiden Kennedy itu Israel merasa perlu untuk menghilangkan rintangan apa saja terhadap proyek nuklir mereka. Israel memutuskan unluk menghilangkan rintangan tersebut. Mossad diduga terlibat dalam tindak pembunuhan terhadap presiden Kennedy pada tahun 1963 itu juga. Pembunuhan itu sedemikian rapi dilakukan, sehinga menimbulkan kontroversi yang simpang-siur. Yang dijadikan tersangka pembunuhnya adalah seorang mantan anggota marinir Amerika Serikat bemama Oswald, yang oleh pers Amerika Serikat sendiri diragukan kebenarannya. Ia dituduh dibayar oleh pihak Uni Sovyet untuk melakukan pembunuhan itu. Latar-belakang dan motik tentang pembunuhan itu menjadi gelap ketika Oswald dibunuh oleh seorang Yahudi, tatkala ia akan memasuki ruang sidang pengadilan. Keganjilan yang ada ialah pembunuh Oswald luput dari pengawasan pihak keamanan, sehingga dapat menembak Oswald dari jarak yang sangat dekat. Pembunuh itu sendiri kemudian dibunuh oleh polisi. Untuk mencari keterangan dan latar-belakang siapa yang bertanggungjawab terhadap kasus pembunuhan presiden Kennedy, sebuah Komisi Warren dibentuk oleh Senat Amerika Serikat. Tetapi hingga kini hasil temuan Komisi Warren tetap tidak diumumkan kepada publik.

Inspeksi tahunan baru dapat dilakukan oleh badan pengawas tenaga nuklir Amerika Serikat pada tahun 1964 setelah perdana menteri David Ben-Gurion berhenti, dan berlangsung sampai tahun 1969. Sampai tahun itu para ilmuwan Amerika melaporkan "tidak berhasil menemukan bukti-bukti" yang Israel mengembangkan kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan senjata nuklir.

Pada tahun 1970 antara presiden Richard Nixon dan perdana menteri Golda Meir tercapai kesepakatan, dimana Amerika Serikat diharapkan memandang masalah itu dari sudut pandang yang lain selama Israel tetap memelihara sikap 'low profile' dan tetap memegang teguh kebijakannya untuk tidak menjadi negara pertama di kawasan itu yang akan menggunakan senjata nuklir. Kesepakatan itu berlaku sampai dcngan sekarang. Amerika Serikat menutup mata dan membiarkan Israel mengembangkan kebijakannya menteror negara-negara Arab di sekitamya dengan senjata nuklimya.8


Yahudi Menguasai Departemen Luar-Negeri

Dahulu departemen luar negeri Amerika Serikat adalah sebuah instansi WASP (White, Anglo-Saxon, Protestant - berkulit putih, keturunan Inggeris, dan beragama Kristen Protestan). Di bawah presiden Clinton lembaga penting itu berubah menjadi WJM (White, Jewish, Males berkulit-putih, Yahudi, dan pria). Sejak menteri luar-negerinya Madeleine Albright yang Yahudi, kecuali dia yang wanita temyata semua calon pejabat untuk posisi puncak terdiri dari orang Yahudi, dan pria. Sejumlah ahli mengenai kebijakan"luar-negeri dengan cepat menangkap adanya perubahan besar itu. "Ini mencerminkan ada perubahan besar di negeri ini karena dari dulu dinas luar negeri itu secara khusus hanya terbuka untuk kelompok paling elit dari kalangan WASP", kata bekas anggota Dewan Keamanan Nasional urusan Timur Tengah, Richard Haas. Tanpa disadarinya keadaan itu menghadapkan Madeleine Albright dengan masalah. Kalau semua calon dari kalangan Yahudi itu diangkatnya, Madeleine Albright mengundang permusuhan mulai dari kelompok minoritas dan wanita, sampai kepada lobi pro Arab di bidang perumus kebijakan Timur Tengah di Washington dan kelompok-kelompok anti-Semit dari berbagai warna politik. "Saya yakin orang akan memandangnya sebagai konspirasi Yahudi", kata seorang Yahudi yang tidak mau disebutkan namanya yang bekerja sebagai analis kebijakan luar negeri.

Madeleine Albright mengangkat lagi dua orang Yahudi pada posisi puncak, Dennis Ross sebagai koordinator khusus urusan Timur Tengah, posisi yang tidak hanya terbatas pada urusan Timur Tengah. Selain itu jabatan menteri muda bidang ekonomi 1uar-negri diserahkannya kepada Stuart Eizenstadt, mantan duta-besar pada Uni Eropa dan pejabat federal untuk mengamati berapa besarnya aset Yahudi di bank-bank di Swis. Untuk pertama kali pula dalam sejarah selama 208 tahun, departemen luar-negeri Amerika Serikat melihat keenam posisi regional yang ada di bawah para asisten menteri luar-negeri, keseluruhannya diisi oleh orang Yahudi, seperti Mark Grossman mantan duta-besar di Turki, menjadi asisten menteri luar-negeri urusan Eropa, Princeton Lyman untuk urusan lembaga internasional, Howard Wolfe untuk urusan Afrika, Stanley Roth untuk urusan Asia, Karl Indefuth untuk urusan Asia Selatan, Jeff Davidow untuk urusan Amerika Latin, dan Martin Indyk bekas duta-besar di Israel untuk urusan Timur Tengah. Martin Indyk adalah anggota AlP AC, lobi Israel di Washington yang sangat kuat untuk perumusan kebijakan nasional Amerika Serikat, selain memimpin Institute for Near-East Policy di Washington, DC. sebuah lembaga pro-Israel yang juga sangat kuat di Washington, sebelum dipanggil untuk bergabung dengan departemen luar-negeri Amerika Serikat.

Biro urusan Timur Tengah yang dipegang oleh Martin Indyk menurut Robert Kaplan, penulis buku "The Arabists", yang mengkaji kebijakan pmerintah Amerika Serikat mengenai Timur Tengah, selalu dipegang oleh seorang diplomat karier. Pengangkatan Martin Indyk lebih didasarkan pada pertimbangan "politik", kata Kaplan. Martin Indyk diangkat oleh presiden Clinton mula-mula sebagai penasehatnya dalam urusan Timur Tengah pada tahun 1993, kemudian menempatkannya sebagai duta-besar untuk Israel.9


Daftar Pustaka:

1. Peter Grose, 'Israel in the Mind of America', Alfred Knopf, New York, 1983, h-66.
2. 'Empire of the City', h.90.
3. "Federal Reserve Directors: 'A Study of Corporate and Banking Influence', Staff Report Committee on Banking Currency and Housing, House of Representative, 94th Congress, 21st Session, August 1976".
4. Kah, h.13.
5. Mullins, h. 47-48.
6. Ibid. h.29.
7. Stephen D.Isaacs, 'Jews and American Politics', Doubleday & Company, Inc. Garden City, New York, 1977, h.61-63.
8. Avner Cohen, 'Israel and the Bombs', Columbia University Press, New York, 1998.
9. Jonathan Broder, 'Jewish Numbers Grow at the State Department', Zine Magazine, Edisi 13 Februari,

[+/-] Selengkapnya...

ZIONISME

Zionisme


“Di Bazel saya mendirikan negara Yahudi...Barangkali dalam waktu lima tahun, dalam limapuluh tahun, orang niscaya akan menyaksikannya" (Theodore Herzl)


“Kita harus memaksa pemerintahan bukan-Yahudi untuk menerima langkah-langkah yang akan meningkatkan secara luas rencana yang telah kita buat yang telah kian dekat dengan tujuannya dengan cara meletakkan tekanan pada pendapat umum yang telah kita agendakan yang harus didorong oleh kita dengan bantuan apa yang dinamakan ‘kekuatan besar’ pers. Dengan sedikit perkecualian, tak perlu terlalu dipikirkan, kekuatan itu telah berada dalam genggaman kita”. (‘Protokol Zionis Ketujuh’)


Sejarah dan Asal Usul

‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds (Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi, karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu sendiri.

Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi kemudian beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’ (terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zonisme dalam makna politik itu dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelpia.

Gagasan itu mendapatkan dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir. Untuk memperoleh bantuan keungan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20 April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, ‘Wahai kaum Yahudi, mari membangun kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem menjadi marak dan meluas.

Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara yahudi di Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.

Buku itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina. Menurutt Hess kehadiran bangsa Yahudi di Palestina akan turut membantu memikul “misi orang suci kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan memperkenalkan peradaban Barat kepada mereka”. Buku ini memuat pemikiran awal kerja-sama konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya. Untuk mendukung gagasan itu berdirilah sebuah organisasi mahasiswa Yahudi militan bernama ‘Ahavat Zion’ di St.Petersburg, Rusia, pada tahun 1818, yang menyatakan bahwa, “setiap anak Israel mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel, kecuali mendirikan pemerintahan sendiri di Tanah Israel (Erzt Israel)”1.


Konsepsi tentang wilayah dan batas-batas negara Israel didasarkan pada Kitab Taurat. Berdasarkan Taurat, wilayah Israel luasnya “dari sungai Nil sampai sungai Tigris” yang kira-kira mendekati kekuasaan Emporium Assyria (sekitar 640 Sebelum Masehi)

Buku Moses Hess ‘Roma und Jerusalem’ (1862) mendapat perhatian dan dukungan dari tokoh-tokoh kolonialis Barat karenan beberpa pertimbangan, :
1. Adanya konfrontasi antara Eropa dengan daulah Usmaniyah Turki di Timur Tengah
2. Bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu ‘bastion’ (bentang/pertahanan-red.) politik yang kuat di Timur Tengah dan ketika kebutuhan itu muncul orang Yahudi menawarkan diri secara sukarela menjadi proxi (wakil-red.) negara-negara Eropa.
3. Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum Yahudi untuk kembali ke Plaestina.
4. Gerakan Zionisme akan berfungsi membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa

Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve (tanpa batas-red.) dari Mayer Amschel Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga Yahudi Paling kaya di dunia.

Pendukung kuat dari kalangan poitisi Eropa terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Llyod Gerge (perdana menteri Inggris), Arthur Balfour (menteri luar-negeri Inggris), Herbert Sidebotham (tokoh militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil, J.S. Smuts, dan Richard Meinerzhagen.

Sebenarnya sejak tahun 1882 Sultan Abdul Hamid II telah mengeluarkan sebuah dekrit yang berbunyi, meski sultan “sepenuhnya siap untuk mengizinkan orang Yahudi beremigrasi ke wilayah kekuasaannya, dengan syarat mereka menjadi kawula daulah Usmaniyah tetapi baginda tidak akan mengizinkan mereka meneap di Palestina”2. Alasan pembatasa ini karena, “Emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan membuahkan sebuah negara Yahudi”3.

Pada waktu itu sebelum imigrasi kaum Yahudi yang massif (secara besar-besaran-red.) dimulai kira-kira hanya ada 250.000 jiwa orang Yahudi di antara 0,5 juta jiwa penduduk Arab di Palestina4. Meski ada titah sultan tersebut, arus imigrasi orang Yahudi tetap berhasil menerobos masuk ke Palestina secara diam-diam dan berlanjut bahkan melalui cara sogok sekalipun5.

Menjelang 1891 beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan keprihatinan mereka mengenai kian meningkatnya imigran Yahudi, sehingga menganggap perlu mengirimkan telegram ke Istambul menyampaikan keluhan tentang kekhawatiran itu yang mereka simpulkan akan mampu memonopoli perdagnagn yang akan menjadi ancaman bagi kepentingan bisnis setempat, yang pada gilirannya akan menjadi ancaman politik6.

Pada tahun 1897, tahun yang bersamaan dengan ‘Kongres Zionisme I’, mufti Jerusalem, Muhammad Tahir Husseini, ayah dari Hajj Amin Husseini, memimpin sebuah komisi yang dibentuk khusus untuk memepelajari masalah penjualan tanah penduduk Arab kepada orang Yahudi. Resolusi komisi tersebut berhasil meyakinkan pemerintah kesultanan Usmaniyah mengeluarkan peraturan yang melarang penjualan tanah milik penduduk Arab kepada orang Yahudi di daerah Jerusalem untuk beberapa tahun7.

Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl (1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme modern, barangkali eksponen (yang menerangkan/menguraikan-red.) filosof tentang eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap kesempatan yang ada. Katanya’ “Kami adalah suatu bangsa – Satu Bangsa”.

Ia dengan jernih melihat apa yang disebutnya sebagai “masalah Yahudi” sebagai suatu masalah politik. Dalam kata pengantar bukunya itu, ‘Der Judenstaat’, ia berkata,

“Saya percaya, bahwa saya memahami anti-Semitisme, yang sesungguhnya merupakan gerakan yang sangat kompleks. Saya mempertimbangkannnya dari sudut pandang orang Yahudi, tanpa rasa takut maupun benci. Saya percaya anasir (unsur-red.) apa yang saya lihat di dalamnya yang merupakan permainan yang jorok, sikap iri yang lazim, warisan prasangka, intoleransi keagamaan, dan juga pretensi (keinginan-red.) mempertahankan nilai-nilai. Saya rasa “masalah Yahudi” lebih banyak berbau sosial ketimbang keagamaan ,meskipun saya tidak menafikan kadangkala muncul hal itu dalam bergam bentuknya. Maalh itu pada hakekatnya adalah “masalah nasional” yang hanya mungkin diselesaikan dengan membuatnya masalah dunia politik yang dapat didiskusikan dan dikendalikan oleh bangsa-bangsa dunia beradab di suatu majelis”.

Theodore Herzl tidak hanya menyatakan bahwa kaum Yahudi harus membentuk suatu bangsa, tetapi dalam mengubungkan tindakan dari bangsa Yahudi ini kepada dunia, Herzl menulis,

“Bila kita tenggelam, kita akan menjadi suatu kelas proletariat revolusioner, pamanggul ide dari suatu partai revolusioner; bila kita bangkit, dipasikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan kita yang dahsyat”.

Pandangan ini yang nampaknya pandangan yang sejati, merupakan pandangan yang telah lama terpendam di dalam benak kaum Yahudi, yang juga dikemukakan oleh Lord Eudtace Percy, dan diterbitkan ulang, agaknya dengan persetujuan ‘Jewish Chronicle’ Kanada, yang untuk membacanya membutuhkan kehati-hatian.

“Liberalisme dan nasionalisme dengan hingar bingar membukakan pintu ghetto (1.kampung Yahudi di kota, 2 bagian kota yang didiami terutama oleh golongan minoritas – red..)dan menawarkan kewarga-negaraan dengan kududukan yang sejajar kepada kaum Yahudi. Kaum Yahudi memasuki Dunia barat, menyaksikan kekuasaaan dan kejayaannya, memanfaatkan dan menikmatinya, turut-serta membangun di pusat peradabannya, memipin, mengarahkan dan mengeksploitasinya – namun kemudian menolak tawaran itu. Lagipula – dan hal ini sesuatu yang menarik – nasionalisme dan liberalisme Eropa, pemerintahan dan persamaan dalam demokrasi menjadi makin tidak tertangguhkan olehnya dibandingkan dengan penindasan dan kedzaliman despotisme (kelaliman-red.) sebelumnya.”

“Di suatu dunia dengan yurisdiksi(hak hukum – red.) kedaulatan negara yang dibatasi dengan jelas oleh batas-batas wilayah teritorial negara yang sepenuhnya disepakati secara internasional, (orang Yahudi) tinggal memiliki dua pilihan yang membuka kemungkinan baginya untuk memperoleh perlindungan : pertama, atau ia harus meruntuhkan pilar-pilar sistem negara nasional yang ada secara keseluruhan; kedua, atau ia harus menciptakan sendiri suatu wilayah teritorial yang seluruhnya berada di dalam genggaman yurisdiksi kedaulatannya. Mungkin disini terletak penjelasan tentang hubungan Bolshevisme (bahasa Rusia:’minoritas’) Yahudidan Zionisme, karena dewasa ini kaum Yahudi di Timur nampaknya terombang-ambing memilih di antara keduanya. Di Eropa Timur Bolshevisme dan Zionisme sering terlihat tumbuh bersamaan, persis seperti peran kaum Yahudidalam membentukpemikiran tentang ‘republikeinisme’ dan sosialisme sepanjang abad kesembilan-belas sampai kepada Revolusi Turki Muda di Istambul yang belum lewat satu dasawarsa yang lalu. Semuanya berlangsung bukan karena kaum Yahudi mempedulikan sisi positif dari falsafah-falsafah radikal itu, bukan karena ingin menjadi peserta dari nasionalisme atau demokrasinya kaum non-Yahudi, tetapi ‘karena tidak ada sistem pemerintahan yang ada pada kaum non-Yahudi, yang benar-benar memiliki makna bagi orang Yahudi, karena pa yang ada hanya menimbulkan kemuakan baginya’”.

Para pemikir Yahudi, semuanya tanpa kecuali,memandang apa yang ada pada kaum non-Yahudi seperti itu. Orang Yahudi selalu bersikap bertentangan dengan skema kaum non-Yahudi dalam segala hal. Kalau sekiranya kepada orang Yahudi diberikan kebebasa penuh untuk memilih, dapat dipastikan ia akaj memilih untuk menjadi seorang republikein yang anti-kerajaan, seorang sosialis yang anti-republik, atau seorang Bolshevis yang anti-sosialis.

Apa yang menjadi penyebab sikap yang nyeleneh ini ?
Pertama, Kekurang-mampuan orang Yahudi dalam memahami demokrasi. Watak orang Yahudi terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter. Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi orang Yahudi dimana pun ia berada, ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang : ajaran Qabala). Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat, sekedar buah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘defence mechanism’) di tempat-tempat dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti pada ‘Konperensi Perdamaian’ Versailes 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan banyak orang. Kaum Yahudi sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana hak-hak khusus dan privilese yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di dalam ‘perjanjian-perjanjian’ dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang Yahudi dalam perjanjian Perdamaian Versailes 1918 dipublikasikan pada bulan Juli 1920; harap dirujuk juga kepada hak-hak khusu dan privilese istimewa Israel dalam resolusi-resolusi PBB).

Kedua, Terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga penyebab yang biasanya dijadikan mereka sebagai argumen : 1. prasangka keagamaan, 2. prasangka ekonomi, 3.antipati sosial. Masalahnya apakah kaum Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non-Yahudi, Yudaisme itu dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan Kristen dan Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber dari sebab non-keagamaan soal kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan mereka menjadi hukum ekonomi-keuangan bagi dunia barat. Kecemburuan ekonomi mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap anti-Yahudi; tetapi isa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah Yahudi” itu merupaka unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komnitas lain di dunia ini, yang jumlah mereka justru lebih banyak daripada orang Yahudi. Orang Yahudi itu tidak pernah menyebut-nyebut politik sebagai penyebebnya, atau jika mereka nyaris keseleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera membatasinya, atau melokalisasinya. unsur politik yang inheren (yang melekat/yang menjadi sifatnya – red.) melekat pada masyarakat Yahudi, ialah dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara” sendiri di dalam negara tuan-rumah. Keterttutupan sikap masyarakt Yahudi yang lebih mengutamakan hubungan internal diantara mereka sendiri, menjadi salah satu penyebab utamayang menimbulkan sikap anti Yahudi.


Nasionalisme Yahudi

Tidak seorang pun menyanggah kenyataan – kecuali kalau benar-benar tidak mengenal pola berpikir kaum Yahudi (periksa ‘Protokol Zionisme’) – bahwa anasir (unsur –red.) yang merusak, baik di bidang ekonomi mapun sosial di dunia sekrang ini, bukan saja diawaki, tetapijuga didanai oleh dan untuk kepentingan kaum Yahudi.

Kenyataan ini cuku lama dipendam saja oleh publik, disebabkan oleh sanggahan yang keras dari kalangan kaum Yahudi, seperti dari the Jewish Defamation League, serat kurangnya informasi tentang hal itu. Kini semua itu dimana-mana telah menjadi kenyataan.

Beberapa waktu setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1 di Bazel itu, kecenderungan politik kaum Yahudi bekerja ke dua arah, yang satu dilkuakn secara diam-diam ditujukan untuk menghancurkan dan menguasai negara-negara non-Yahudi di seluruh dunia, yang lain lagi untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Berbeda dengan proyek yang pertama, proyek yang kedua dilakukan dengan meminta perhatian dan melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk kepentingan itu kaum Zioni dengan cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan persoalan itu tidak ditengarai sebagai rencana kolonisasi yang ambisius yang tidak biasa. Gagasan tentang “Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu crdiknya disemau, sehingga menjadi tabir-asap yang efektif intik merampas tanah milik bangsa Arab-Palestina. Agenda mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu publik menutupi berbagi kegiatan rahasia yan mereka jalankan.

Masyarakat Yahudi internasional, pemegang termaju pemerintahan negara-negara di belakang layar dan penguasa keuangan dunia, mereka bertemu dimana sajam kapan saja, baik di masa perang maupun damai, dan bila ditanya meraka menjelaskan hanya memperbincangkan bagaimana cara dan sarannya untuk mambuka tanah Palestina bagi orang Yahudi an mereka dengan cerdik menghindar dari kecurigaan orang berkumpul-kumpul untuk membicarakan persoalan lain.

Meskipun nasionalisme Yahudi itu ada, tetapi prwujudannya ke alam suatu negara Yahudi di Palestina bukanlah merupakan proyek yang melibatkan segenap orang Yahudi. Adalh kenyataan bahwa pada awalnya orang Yahudi tidak sepenuhnya sepalat pindah ke Palestina. Kengganan itu bukan semata-mata karna tidak setuju dengan gerakan Zionisme, medkipun ideologi Zionisme sebagai motif pendorong memang menjadi penyebab exodusnya mereka dari negeri-negeri Kristen bila saaat untuk itu benar-benar telah tiba.

Publik dunia telah lama mencurigai – mula-mula hanyha oleh beberapa gelintir orang, kemudian mulai menarik perhatian dinas-dinas intelejen pemerintahan, lalu kalangan para intelektualm akhirnya masyarakat luas – bahwa kaum Yahudi itu adalah suatu masyarakat yang ternyata berbeda dengan bangsa-bangsa yan lain di dunia, dan anehnya, mereka tidak dapat menyembunyikan identitas mereka dengan cara papaun, bahwa mereka membentuk suatu “negara” di dalam negara, bahwa meraka sangat sadar sebagai suatu bangsa, tapi bukan itu saja, mereka sangat sadarperlunya bersatu membentuk pertahanan bersama untuk mencapai tujuan bersama.


Program Pengusiran Penduduk Arab Palestina

Penduduk Arab-Palestina merupakan mayoritas sampai dengan terbentuknya Israel sebagai sebuah negara Yahudi pada tahu 1948. Negara Israel yang dicita-citakan oleh Thedore Herzl hanya akan dapat terwujud dengan cara menghapus hak-hak kaum mayoritas, atau membuat kaum Yahudi menjadi mayoritas melalui imigrasi, atau mengurangi jumlah penduduk Arab di palestina memlalui cara pembersihan etnik. Tidak ada cara lain, dan tidak mungkin membentuk sebuah negara Yahudi, kecuai dengan cara di luar prosedur demokratik tadi8.

Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan yang mengalir dari logika Zionisme sebagiaman dengan sangat jelas dikatakan Thedore Herzl sejak 12 Juni 1895. Pada waktu itu ia baru merumuskan gagasannya tentang Zionisme dan menuliskannya dalam buku hariannya, “Kami harus mencoba mengeluarkan kaum tidak berduit (baca: Palestina) dari perbatasan dengan cara menyediakan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu mencegah mereka memperoleh lapangan kerja di negeri kami. Kedua proses, baik penghapusan kepemilikan dan pemindahan kaum miskin itu, harus dikerjakan dengan kehati-hatian dan kewaspadaan”9. Pemikiran ini dibenarkan oleh sebagian bedar pendukung Zionisme sejak awal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa tema tentang pengusiran secara konsisten terus menjadi pemikiran kaum Zionis10.

Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi mengacu kepada dua sasaran yang bersifat komplementer (saling melengkapi-red.) dan sekaligus mutlak, yaitu:
1. mendapatkan sebuah tanah air.
2. menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara apapun.
Meskipun Theodore Herzls dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan bahagia, namun tidak ada jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Ziois kecuali dengan cara-cara tersebut di atas.

Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa strategi untuk mencapai tujuan mereka, :
1. Melalui imigrasi orang Yahudi; pada saat awal itu banyak kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sunguh percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu singkat memecahkan “masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi sebagai mayoritas
2. Yang lain meyakini, bilaman sejuamlah petani dan buruh-buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi meninggalkan Palestina.
3. Dalam kenyataannya, kedua rencana di atas kurang begitu diketahui, karena rencana ini lebih banyak diperbindangkan di koridor-koridokekuasaan di Berlin, London, dan Washington, dalam rangka mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional, sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagi imbangan terhadap hal-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.

Kaum Zionis mengembangkan strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada pula yang yang kurang berhasil. Namun pada akhrnya opsi yang terbuka tinggal pengusiran secara paksa sebagai cara untuk mendirikan negara Yahudi yang mereka impikan.

Sementara itu berkembang strategi baru Zionisme, yaitu mendelegitimasi-kan masyarakat Arab-palestina, sambil berusaha melegitimasi-kan kehadiran orang Yahudi. Sejak awal Theodore Herzl sangat sadar bahwa komunitas Zionis membutuhkan suatu major power sebagai penaja. Usaha pertamanya ditujukan kepada Sultan Abdul Hamid II, suatu pilihan yang masuk akal, mengingat kesultanan Usmaniyah memegang kuasa mutlak atas Palestina. Bahkan sebelum secara resmi mendirikan Zionisme pada tahu 1897, Theodore Herzl pernah berkunjung ke Istambul pada tahun 1896 untuk memohon hibah tanah di Palestina dari Sultan dengan imbalan akan memberikan “bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan yang sedang kosong melalui para finansier Yahudi”. Dan yang lebih penting lagi, ialah usulnya yang ditulis sekambalinya dari kunjungan itu, memohon kepada sultan hak kaum Yahudi untuk mendeportasikan penduduk aseli11.

Sultan sangat tersinggung dan menolak permohonan itum dan mengirimkan pesan yang menasehati Theodore Herzl. ‘Jangan lagi membicakan soal ini. Saya tidak dapat menyisihkan sejengkal yanah pun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya dengan darah mereka. …Biarkanlah orang Yahudi menyimpan duit mereka yang berjuta-juta banyaknya di peti mereka”12.


Gerakan Zionisme Internasional

Karena kebuntuan itu, pada tanggal 29-31 Agustus 1897 si bazel, Switzerland, dilangsungkan Konferensi Zionisme Internasional ke-1, dihadiri oleh 204 orang tokoh-tokoh Yahudi dari 15 negara. Para peserta konevnsi sepakat bahwa “Zionisme bertujuan untuk membangun sebuah Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina yang dilindungi oleh undang-undang”, dan untuk tujuan itu, mereka akan mendorong emigasi ke Palestina. Mereka juga membahas prospek dan langkah-langkah politik dan ekonomi untuk pembentukan negara Yahudi di Palestina. Ketika kongres itu berakhir setelah berlangsung selama tiga hari, Theodore Herzl menorehkan di dalm buku hariannya, “Kalau saya harus menyimpulkan apa hasil dari kongres Bazel itu dalam satu kalimat singkat – yang tidak berani saya utarakan kepada pubik – saya akan berkata :’Di Bazel saya menciptakan negara Yahudi!’ “13.
Langkah-langkah yang akan ditempuh adalah 1. pembelian tanah untuk para imigran Yahudi, 2. membuat orang Arab-Palestina tidak betah tinggal di Palestina, 3. dan yang terakhir mengusir penduduk Arab-Palestina melalui cara-cara terorisme. Untuk mendukung gagasan program migrasi orang Yahudi ke Palestina dan menyediakan tanah bagi mereka, maka dibentuklah beberapa lembaga keuangan, seperti : the Jewish Colonial Trust, the Anglo-palestine Company, the Anglo-Plaestine Bank, dan the Jewish National Fund.

Ketika kongres pada 1897 itu berlangsung namgsa Arab-Palestina mencapai angka 95%, dan mereka menguasai 99% dari tanah Palestina14. Jadi jelas sejak awal Zionisme bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan dari tangan mayoritas Arab-Palestina, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu persyaratan yang tak dapat dihindari untuk dapat membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tujuan itu tidak hanya terbatas pada tanah, tetapi tanah tanpa penduduk lain di tengah-tengah mayoritas penduduk Yahudi.

Setelah kegagalannya dengan Sultan Abdul Hamid II, setahun setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1di Bazel, pada tahun 1898 Tehodore Herzl mengalihkan perhatiannya kepada Jerman dan Kaizer Wilhelm II yang memiliki ambisi ke Timur Tengah. theodore Herzl secara ketus memberi-tahukan orang Jerman, “Kami membutuhkan sebuh protektorat, dan Jerman kami anggap paing cocok bagi kami”15. Ia mengemukakan bahwa para pemimpin Zionisme adalah oang-orang Yahudi berbahasa Jerman. Jadi sebuah negara Yahudi di Palestina akan memperkenalkan budaya Jerman ke wilayah tersebut. Namun Kaizer menolak usul Theodore Herzl, sebab utamanya, ia tidak ingin menyinggung perasaan kesultanan Usmaniyah, yang merupakan langganan utama produk persenjataan Jerman, atau membuat murka kaum Kristen di dalam negeri.16

Sementara itu pada tahun 1899 walikota Jerusalem, Youssuf Zia Khalidi, seorang cendekiawan Palestina san anggota parlemen Usmaniyah, menuis sepucuk surat yang diteruskan kepada Theodore Herzl, memperingatkan klaim Zionis terhadap Palestina. Bangsa Arab-Palestina secar khusus menentang tuntutan Zionisme yang didasarkan pada dalih oang Yahudi mempunyai hak atas tanah Palestina hanya karena mereka pernah hidup dua milenia yang silam. Khalidi mencatat bahwa klaim kaum Zionis atas Palestina tidak dapat dilaksanakan mengingat tanah palestina telah berada di bawah kekuasaaan Islamselama 13 abad terakhir dan bahwa orang nusli dan Kristen memiliki kepentingan yang sama mengingat tempat-tempat suci yang ada. Lagipula ia menambahkan penduduk mayoritas Arab-Palestina menentang pnguasaan kaum Yahudi17. Ketika Istambul memutuskan pada tahun 1901 untuk memberikan penduduk asing, yang pada intiya bermakna imigran baru Yahudi, hak yang sama untuk membeli tanah, sekelompok tokoh-tokoh terkemuka Arab-Palestina mengirim sebuah petisi ke ibukota Usmaniyah memprotes kebijakan itu.18

Di pihak Theodore Herzl tanpa mengenal putus-asa ia memalingkan mukanya ke Inggris. itu dilakukannya pada tahun 1902. Di sini ia menemukan lahan yang subur. Ada tradisi di kalangan Kristen Protestan dan para penulis Inggris sepanjang 2 abad sebelumnya untuk mendukung “kembalinya orang yahudi ke Palestina”, tradisi yang juga bergerak ke Amerika Serikat. lagipula kepentingan Inggris tentang keamanan Terusan Suez sebagai urat-nadi ke jajahan-jajahannya di Timur Jauh telah menggiringnya untuk merebut Mesir pada tahun 1882, dan pengamanan Terusan Suez tetap merupakan fokus kepentingan London di wilayah tersebut. Mempunyai penduduk yang bersahabat di wilayah itu akan memberikan keuntungan yang tak terperikan bagi Inggris.

Sebagaimana Jerman, Inggris pun merasa tidak memiliki kepentingan berhadapan dengan Sultan, membuka duungan Inggris terhadap Palestina bukan hal yang menarik bagi Inggris. Lalu Theodore Herzl meminta membuka hubungan denga teritori Inggris yang terdekat: Siprus, El Arish, atau Semenanjung Sinai. Menteri daerah jajahan Joseph Chamberlain mencoret Siprus, karena kehadiran Yahudi akan menimbulkan murka penduduk Yunani dan Turki, dan Mesir tidak disetujui, karena gubernur Inggris setempat menentang memberikan tanaha sejengkal pun dari wilayah Messir. lalu Chamberlain menyarankan sebuah teritori sebagai kompromi, kira-kira seluas Palestina didaerah Afrika Timur milik Inggris. Meskipun pada waktu itu daerah itu dinamakan Uganda, wilayahnya kini kira-kira ada di Kenya19.

Theodore Herzl bersuka-cita dengan tawaran itu. Menurut Herzl kalau bukan menjadi pengganti bagi Palestina, paling tidak berperan sebagai batu-oncatan. Tetapi saran itu berhadapan dengan badai protes dari kaum Zionis terutama datang dari Rusia dan juga daerah-daerah jajahan Inggris. pada awal 1904 baik Thedore Herzl maupun Joseph Chamberlain dengan senang-hati bersepakat melupakan pikiran itu20.
Pengalaman itu sangat menguntungkan bagi Zionisme. Sebuah koneksi penting telah terjalin dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan Inggris, suatu hubungan yang diramalkan Theodore Herzl dengn tepat, bahwa pada suatu saat akhirnya kelak akan membawa hasil yang nyata. Sebelum meninggalnya pada tanggal 3 Juli 1904 theodore Herzl berkata kepada seorang kawan, “Anda akan lihat waktunya akan tiba Inggris akanmelakukan apa saja yang ada dalam kekuasaaannya untuk menyerahkan Plaestina kepada kita untuk beridirnya suatu negara Yahudi”21. Sesudah ini ambisi kaum Zionis difokuskan semata-mata pada Palestina sebagai tempat bagi negara Yahudi yang diharapkan.

Masyarakat Palestina tidak banyak mengetahui langkah-langkah yang ditempuh Theodore herzl selama itu. Hubungan antara orang Arab_palestina dengan orang Yahudi secara umum cukup bersahabat sampai dengan revolusi turki Muda pada 1908. menurut sejarawan Neville J. Mendell, “Menjelang malam Revolusi turki Muda … sentimen anti-Zionisme mapa masyarakat Arab belum nampak. Sebaliknya memang ada keresahan bekenaan dengan makin meluasnya masyarakat anti-Yahudi di Palestina, dan penentangan yang kian meluas terhadap hal itu”22. Sejarawan Israeli, Gershon Shafir, menambahkan, “Revolusi turki Muda pada bulan Juli 1908 harus dipandang sebagai permulaan konflik Yahudi-Arab secara terbuka, demikian juga lahurnya gerakan nasionalisme Arab”.23

Sebagian besar ketidak-pedulian masyarakat Arab-Palestina sampai tahun 1908 disebabkan oleh kenyataan bahwa para perintis Zionis berhasil menekankan bahwa permintaan mereka hanya ytanah dan hubungan persahabatan, sambil tetap menutupi tujuan yang sesungguhnya – mengusir orang Aeab-Palestina. Sesuai buku-buku Theodore Herzl tetntan perlunya tindakan “kehati-hatian dan kewaspadaaan”, bahkan di saat senja kolonialisme, gagsan yang nerisi niat untuk mengusir penduduk asli setempat untuk memeberikan ruang bagi imigran asing dianaggao berbau terlalu sinis, sehingga para perintis Zionisme berupaya menghindarinya demi pertimbangan politik, serta demi kebutuhan untuk memelihara hubungan baik dehari-hari dengan jiran mereka. Sehingga rencana untuk mengusir orang Arab-Palestunaitu kenudian secra eufemistik di kalangankaum Zionis dan dunia luar dikenal sebagai “masalaj pengalihan:. Kepada publik, kaum Zionis menekankan betapa manfaat yang akan didapat oleh masyarakat Arab-Palestina dan kesultanan Usmaniyah dengan kehadiran imigran Yahudi yang baru yang akan membawa serta bersama mereka odal, ilmu pengetahuan, dan hubungan dengan jaringan internasional.


Pengusiran Orang Arab-Palestina

Pada tahun 1905 Israel Zangwill, seorang organisator zionosme di Inggris dan salah seorang propagandis Zionosme terkemuka yang menciptakan slogan, “sebuah tanah air tanpa rakyat untuk rakyat anpa tanah air”, mengakui di Manchester, bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat. Sebenarnya tanah itu dihuni oleh bangsa Arab, “(Kami) menyiapkan diri, untuk mengusirdengan pedang kablah-kabilah (Arab) itu sebagaimana yang dilakukan nenek-moyang kami, atau menghadapi hadirnya penduduk asing dalam jumlah besar, tarutama kaum Mohammedan yang selama berabad-abad terbiasa menghinakan kami”24. Komentar itu disuarakan pada waktu dimana ada 645.000 juwa orang muslim dan Kristen di Palestina, sementara hanya ada 55.000 jiwa orang Yahudi, sebagian besar non-Zionis atau anti-Zionis, yang terutama tinggal di kawasan Orthodoks Jerusalem dan kota-kota lainnya25.

David Ben-Gurion, tokoh yang bersama Theodore Herzl dan Chaim Weizzman, menjadi salah seorang penggagas negara Israel, dengan gamblang menjelaskan hubungan antara Zionisme dengan pengusiran sebagai berikut, “Zionisme adalah pemindahan orang Yahudi.Pemindahan orang Arab jauh lebih mudah daripada cara-cara lainnya.”26. Atau, sebagaimana ditandaskan cendekiawan Israeli, Benjamin Beit Hallahmi, “Kalau masalah dasar yang dihadapi oleh Yahudi Diaspora adalah bagaimana bertahan hidupsebagai kaum minoritas, maka masalah dasar Zionisme di Palestina adalahbagaimana melenyapkanpenduduk aslidan menjadikan kaum Yahudi sebgai mayoritas”.27

Pada tahun 1914 menjelang Perang Dunia ke-1 ada kira-kira 604.000 jiwa penduduk Arab-Palestina dan hanya ada 85.000 orangYahudi di Palestina, suatu kenaikan kira-kira 30.000 orang Yahudi dalam jangka waktu satu dasawarsa28. Meskipun kenaikan itu relatif rendah, namun bagi sebgaian besar orang Arab-Palestina makin jelas bahwa Zionisme merupakan suatu ancaman permanen yang kian meningkat, betapapun lambannya perkembangannya. Kesadaran yang mulai tumbuh ini meluas di kalngan keluarga Arab-Palestina terkemuka, kaum cendekiawan, dan para pengusahanya. Setelah mendengarkan klaim kaum Zionis dan para perintisnya selama dua dasawarsa, banyak kalangan terkemuka Arab-Palestina menjelang Perang Dunia ke-1 mulai mengakuinya, jika sekiranya berhasil mencapai tujuan-tujuannya, Zionisme artinya tidak lain adalah penghapusan banyak atau seluruh masyarakat Arab-Palestina, baik muslim maupun Kristen.

Desakan penggusuran orang Arab-palestina oleh imigran Yahudi menghidupkan angin nasionalisme Arab yang mulai bertiup merambah ke segenap dunia Arab, kegiatan poitik meningkat di Palestina selama tahun 1908-1914. Sejumlah surat kabar dan organisasi poitik lokal yang memperjuangkan hak-hak rakyat Arab bermunculan di masyarakt Arab-Palestina. Terlepas dar program mereka yang beragam,hampir semua kelompok tersebut memiliki garis yang sama, yakni anti Zionisme. Sebuah selebaran tanpa nama di Jerusalem pada 1914 menulis, “Saudara-saudara! Apakah kalian bersedia menjadi budak an hamba sahaya dari suatu kaum yang terkenal jahatnya di dunia dan dalam sejarah? Maukah kalian menjadi budak dari mereka yang datang menemui kalian hanya untuk mengusir dari negeri kalian, dengan mengklaim bahwa tanah ini milik mereka?”29.

Ketika PD I pecah, seluruh argumen Arab masih terus bergaung hingga hari ini, permusuhan Arab-Yahudi telah menjadi masalah permanen yang di kemudian hari membuatnya menjadi konflik terbuka.

Diantara akivis muda Arab-Palestina edapat seorang anak-belasan tahun, Muhammad Amin Husseini, putera dari suatu keluarga kaya yang selama berabad-abad telah memegan kontrolatas berbagai kedudukan penting di bidang agama dan poitik. Pada usia 13 tahun, pada tahun 1913, Amin Husseini telah memimpin sebuah perkumpulan yang tidak berusia panjang dan mulai menulis selebaran yang menyerang kaum imigran Yahudi. Sebagai seorang asionalis Arab yang masih baru, ia di kemudian hari akan menjadi musuh terbesar kaum Yahudi. Pada tahun 1921, ketika berusia 21 tahun ia terpilih menjadi mufti Jerusalem, suatu jabatan yang telah diduduki oleh leluhurnya,kecuali untuk beberap interupsi, selama berabad-abad sejak abad ke-17, jabatan yang menempatkan Amin Husseini sebagai pemimpin Arab-Palestina30. Sejak saat itu sampai dengan berdirinya negara Israel, Husseini menggunakan segenap kemampuannya untuk mencegah kaum Zionis mendirikan negara mereka.

Amin Husseini dan kaum terkemuka Arab-Palestina lainnya tidaklah polos. Mereka elah bergulat berabad-abad lamanya dengankesultanan Usmaniyah dan fasih dengan intrik-intrik halus istana, mapun bahaya dan keuntungan hubungan komunitas yang kompleks antara musim, Kristen, Yahudi, Druze, dan lain-lain, yang hidup berdampingan dengan masyarakat Arab-Palestina. Meskipun mereka memperhitungkan ancaman Zionisme dan kekuatan mereka sendiri pada PD I, termasuk hak-hak mereka sebagai kelompok mayoritas dan kelemahan klaim kaum Zionis atas Palestina yang hanya didasarkan pada alasan pernah menghuni Plaestina 2000 tahun yang silam, namaun mereka kurang memiliki pemahaman yang rumit tentang dunia Barat. Mereka tidak mampu bersaing dengan pengaruh Yahudi di Inggris dan Amerika Serikat, dan mereka memandang enteng kecenderungan kesejarahan di Barat yang mendukung berdirinya sebuah negara Yahudi.
Bagi kaum Zionis hanya tersisa dua atrategi intuk merebut kekuasaan: men-delegitimasi-kan orang Arab-Palestina dimana kaum Zionis telah sangat berhasil membuktikan selama beberapa tahun terakhir; dan, melempar mereka melalui cara tidak membuka lapangan kerja, atau melalui pengusiran secara paksa. Untuk beberapa lama para perintis Zionisme berpegang pada kepercayaan bahwa orang Arab-Palestina akan dapat dikeluarkan melalui meniadakan lapangan kerja bagi mereka. Strategi itu kentara sekali bagi pengamat luar, seperti Lomisi King-Crane dari Amerika Serikat yang menyerahkan laoran mereka tentang Palestina pada tahun 1919, “Kenyataan mencuat berulang-kali dalam perundingan Komisi dengan perwakilan Yahudi bahwa kaum Zionis berharap mengusir sepenuhnya secara praktis penduduk non-Yahudi yang ada di Paletsinamelalui berbagai cara pembelian tanah”. Laporan itu menambahkan bahwa, “penduduk non-Yahudi berjumlah hampir 90 persen dari keseluruhan”.31

Dalam lingkungan terbatas, “masalah pengalihan” penduduk Arab-Palestina tetap merupakan topik diskusi yang berlamjut di kalngan dalam majelis Zionisme selama setngah abad sampai dengan pengusiran secara besar-besaran orang Arab-Palestina pada tahun 194833. Sementara di antara kaum Zionis ada oposisi terhadap gagasan "pengalihan" itu atas dasar kemanusiaan, tetapi logika Zionisme mengharuskan tidak ada pilihan lain daripada men-delegitimasi-kan mayoritas orang Arab-Palestina, atau mengatasijumlah mereka untuk mencapai terbentuknya negara Yahudi. Tetapi mencapai suatu mayoritas Yahudi ternyata tidak realistik. Bahkan pada tahun 1947, setelah bermigrasi hampir enam dasawarsa, hanya ada 589.341 orang Yahudi di antara penduduk Arab-Palestina yang 1.908.775 orang34. Majelis Zionisme memutuskan untuk mengatasi "masalah pengalihan" itu dengan menempuh jalan terorisme seraya menutupnya dengan aksi propaganda yang intensif.

Orang Arab-Palestina menempati kedudukan yang tidak menguntungkan dengan ketidak-mampuan mereka melawan propaganda Zionisme di Barat, yang menggambarkan orang ArabPalestina sebagai kaum yang bodoh, kotor, anti-Kristen, yang tidak perlu didukung. Meski tidak terlalu berhasil pada saat itu mendirikan sebuah negara Yahudi, namun usaha itu sangat efektif mendelegitimasi-kan dan menteror orang Arab-Palestina.

Bersamaan dengan itu kaum Zionis menggunakan usaha apa saja untuk memperkuat stereotipe yang anti-Islam, semacam propaganda yang tak syak lagi pernah mereka lakukan sebelum Perang Salib. Orang Arab- Palestina digambarkan sebagai makhluk yang culas dan kotor dalam berbagai laporan berita (kemudian film dan teve pada masa kini), serta dalam setiap seminar, pamflet, dan wawancara. Hal itu menjadi sebuah proses yang masih terus berlanjut sampai dengan masa kini, bahkan sesudah pengakuan timbal-balik Israel-PLO pada tahun 1993 di Oslo.

Perhatian yang luas dicurahkan untuk memahami bagaimana kaum Zionis awal berhasil merebut tanah Palestina, tetapi hanya reJatif sedikit studi yang difokuskan dan menempatkan kaum mayoritas Arab-Palestina. Tanpa kekuasaan ada dalam tangan kaum Yahudi, kaum Zionis menyimpulkan nasib mereka tidak akan lebih baik daripada di Eropa, mengingat gerakan Zionisme tumbuh khususnya sebagai suatu cara untuk menghindarkan diri dari anti-Semitisme, pogrom, ghetto, dan status minoritas.

Akar dari Zionisme menyentuh jauh ke dalam psyche penderitaan orang Yahudi. Tetapi penyebab utama kemunculannya yang bermula pada penghujung abad ke-19 itu adalah terjadinya gelombang migrasi secara massif sebagai akibat diberlakukannya 'pogrom' di Rusia pada tahun 1881 dan meluasnya sikap anti-Semitisme di seluruh Eropa Timur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Perorangan, keluarga, dan bahkan seluruh komunitas Yahudi, melarikan diri untuk menghindari teror anti-Semitisme. Sampai dengan pecahnya Perang Dunia ke-l pada tahun 1914, kira-kira 2,5 juta orang Yahudi meninggalkan Rusia dan negara-negara Eropa lainnya, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Barat, khususnya ke Amerika Serikat, Kanada, Amerika Latin, dan Australia. Dan kurang dari 1 % pindah ke Palestina dan menetap disana34. Pada intinya inilah alasan paling mendasar tentang Zionisme - keputus-asaan yang mendalam - ternyata anti-Semitisme tidak dapat dihilangkan selama orang Yahudi hidup di tengah-tengah masyarakat non-Yahudi.

Hal ini bukan perasaan yang umum terdapat pada orang Yahudi, terutama di antara kaum cendekiawan dan pebisnis yang telah berhasil berasimilasi di dalam masyarakat dengan sistem demokrasi Barat, atau telah mendapatkan rasa aman yang dijamin oleh hak kebebasan beragama. Sejatinya Zionisme tetap merupakan gerakan kelompok minoritas di antara kaum Yahudi sampai memasuki abad ke-20.

Ada juga kelompok anti-Zionisme yang cukup kuat dan vokal, seperti the American Council for Judaism di Amerika Serikat pada dasawarsa 1950-an, yang menganggap "ke Jerusalem tanpa tuntunan Al-Masih adalah penyimpangan dari Taurat". Salah satu buah dari kemenangan Israel dalam Perang 1967 atas bangsa-bangsa Arab ialah penerimaan final atas Zionisme sebagai makna politik oleh hampir segenap masyarakat Yahudi sejak itu.

Bahkan pada masa bayinya Zionisme telah menikmati dukungan kuat baik dari London maupun Washington. Terlebih-Iebih adanya masalah sosial yang ditimbulkan oleh migrasi orang Yahudi secara massif, meyakinkan para pemimpin Barat untuk mendukung gagasan adanya negara Yahudi. Hal itu dikarenakan banjirya emigran Yahudi yang meminta suaka ke negara-negara tersebut begitu besar jumlahnya dari tahun ke tahun, sampai-sampai suatu ketika hal itu memicu berbagai kerusuhan anti-imigrasi di London, dan menuntut undang-undang imigrasi yang restriktifbaik di Inggris maupun di Amerika Serikat36.

Pembentukan negara Yahudi merupakan jalan keluar untuk meniadakan imigran Yahudi, dan dengan itu sekaligus menenangkan badai politik berkenaan dengan undang-undang imigrasi. Bahwa tidak banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh para politisi terhadap dampak yang dapat timbul terhadap penduduk Arab-Palestina tidaklah mengherankan dalam lingkungan pada masa itu.

Di Palestina sendiri, kesultanan Usmaniyah yang telah memerintah Palestina selama 400 tahun, bukannya tidak menyadari akan bahaya terhadap tata yang telah ada dihadapkan dengan kemungkinan imigrasi Yahudi yang tak-terbatas. Meskipun hanya ada 60.000 orang dari 2,5 juta yang melarikan diri dari Eropa Timur yang menjadi penduduk menetap di Palestina sampai dengan Perang Dunia ke-l, bahkan jumlah sekecil itu pun merasa sebagai orang-orang yang tidak disenangi37.


Deklarasi Balfour


Pada tahun 1914-1918 pecah Perang Dunia Ke-l. Dalam perang tersebut daulah Usmaniyah memihak Jerman. Memanfaatkan situasi yang ada Chaim Weizmann pada tahun 1917 menulis surat kepada Parlemen Inggris untuk meminta dukungan dan persetujuan Inggris untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1917 menteri luar-negeri Inggris Lord Balfour mengirimkan nota kepada Parlemen Inggris dengan isi, antara lain, "Menurut pendapat pemerintah Inggris, mempertahankan Terusan Suez akan mencapai hasil maksimal dengan mendirikan suatu negara Palestina yang terikat dengan kita. Dan mengembalikan orang Yahudi ke Palestina di bawah pengawasan Inggris akan menjamin rencana ini" Parlemen Inggris memberikan persetujuannya, dan dengan dasar dukungan itu Lord Balfour kemudian mengirim surat pada hari yang tidak jauh berselang kepada Baron Rothschilds yang intinya berbunyi, "Pemerintahan Sri Baginda dengan segala senang hati merestui pembentukan Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina, dan akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan ini".

Dukungan Inggris kepada terbentuknya negara Yahudi itu terkait erat dengan kepentingan imperialisme global Inggris sebagaimana ditegaskan oleh Winston Churchill pada tahun 1921, menteri luar-negeri Inggris pada waktu itu, bahwa "Kalau Palestina tidak pernah ada, maka menurut keyakinan saya, demi kepentingan Imperium, ia harus diciptakan".


Daftar Pustaka

1. Suara Hidayatullah - Edisi Sya'banJRamadhan 1420H/Desember 1999.
2. Ronald Sanders, 'Shores of Refuge: A Hundred Years of Jewish Emmigration', Henry Holt and Company, New York, 1988, h.121.
3. Connor Cruise O'Brian, 'The Siege: The Saga of Israel and Zionism', Simon and Schuster, New York, 1986, h. 91.
4. Phillip Mattar, 'The Mufti of Jerusalem: AI-Hajj Amin Al-Husyni, and the Palestinian National Movement', Columbia University Press, New York, 1993, h. 7-10.
5. Neville J.Mandel, 'The Arabs and Zionism Before World War II', University of California Press, Berkeley, 1976, h. 18-19.
6. Tessler, h. 127.
7. Mandel, h. 21.
8. Edward Said, 'A Profile of the Palestinian People', h.235-239; Edward Said and Christopher Hitchens, eds. 'Blaming the Victims', Verso, New York, 1988.
9. Raphael Patai, ed., 'The Complete Diaries of Theodore Herzl', translated by Harry Zohn, Herzl Press and Thomas Yose1off, New York, 1960, h.88-89; Nur Masalha, 'Expulsion of the Palestinians: The Concept of 'Tranfer' in Zionist Political Thought 1928-1948', Institute of Palestinian Studies, Washington, DC., 1992, h.9; John Quigley, 'Palestiner and Israel: Challenge to Justice', Duke University Press, Durham, 1990, h.5.
10. David McDowall, 'Palestine and Israel: The Uprising and Beyond', University of California Press, Berkeley, 1989, h.196.
11. Leonhard, h.119; Khalid Walidi, 'The Jewish-Ottoman Land Company:Herzl's Blueprintfor the Colonization of Palestine', Journal of Palestine Studies, Winter 1993.
12. Neville Barbour, 'A Survey of the Palestine Controversy', Institute of Palestine Studies, Beirut, 1969, h. 45.
13. Howard M. Sachar, 'A History of Israel: From the Rise of Zionism to Our Time', Tel Aviv, Steimatzky's Agency, 1976, hA4-46.
14. Walid Khalidi, ed. 'From Haven to Conquest: Readings in Zionisme and Palestine Problem Until 1948', Washington, DC., Institute for Palestine Studies, 2nd Edition, 1987, h.xxii.
15. Howard M. Sachar, h. 47.
16. Desmond Stewart, 'Theodor Herzl', Hamish Hamilton, London, 1974, h.275.
17. L.M.C. van der Hoeven Leonhard, 'Shlomo and David: 'Palestine 1907', in Khalidi, h. 119.
18. Tessler, h.126.
19. Barbour, h. 50.
20. Howard M. Sachar, h. 62-63.
21. Ibid., h. 63.
22. Ibid., h. 128.
23. Ibid., h. 128.
24. Masalha, h.lO.
25. Ibid. h.39.
26. Ibid., h.159.
27. Benjamin BeitHaUahmi, 'Original Sins: Reflections on the History of Zionism and Israel', Olive Branch Press, New York, 1993, h.72.
28. Tessler, h. 145.
29. Ibid., h. 144.
30. Matter, h. 27.
31. Ralph H. Magnus, ed., 'Documents on the Middle East', American Enterprise Institute, Washington, DC., 1969, h. 32-33.
32. A vineri, h. 156.
33. Masalha, h. 15, 49.
34. Janet L.Abu Lughod, 'The Demographic Transformation of Palestine', dalam Ibrahim Abu Lughod, ed., 'Transformation of Palestine', 2nd Edition, Northwestern University Press, Evanston, 1987, h. 155.
35. Shlomo Avineri, 'The Making of Modern Zionism: The Intellectual Origins of the Jewish State', Basic Book Inc., New York, 1981, hA-5.
36. Khalidi, h.xxix-xxxi.
37. Tessler, h. 61.

[+/-] Selengkapnya...

Followers

 

Pencarian kata

powered by Answers.com

Hamba Allah

Foto Saya
Kurniawan Bogo Yustanto
Kubukan Seorang Penulis Maupun Seorang Ustadz atau Kyai, Diriku hanya seseorang Yang Mencoba Untuk Bisa Saling Berbagi Mengenai Agama Islam yang Sempurna ini. Seluruh isi Artikel di Blog ini bebas Etika Copy/Paste. Diperbolehkan COPY seluruh isi blog ini. Karena begitu indahnya berbagi ilmu dan mencoba untuk berdakwah :) Indahnya Kebersamaan Dalam Islam
Lihat profil lengkapku

Ajang Silaturohim :

Jadwal Shalat Kota Semarang