Diberdayakan oleh Blogger.

Traffic Light

Flash


ShoutMix chat widget

Waktu Shalat Semarang

Artikel Islam

Kesungguhan Hati Dalam BerIslam

Rabu, 22 September 2010

Bulan Syawal sebagai Bulan Peningkatan Amaliah

Bulan Syawal sebagai Bulan Peningkatan Amaliah

Betapa Rasulullah saw mampu memikat seluruh elemen penduduk Madinah yang terdiri dari berbagai suku, agama dan latar belakang sosial yang beragam. Di awal kedatangan beliau disana. Padahal beliau belum pernah bertemu dengan mereka, pun tidak ada hubungan darah dengan mereka.
Pertama sekali yang Rasulullah saw deklarasikan bagi penduduk Madinah yang sedang menanti-nanti kedatangan beliau adalah nilai-nilai humanisme dan kepedulian yang dilandasi dengan sikap mental yang kuat.
Mari kita simak penuturan salah seorang yang sengaja menyempatkan diri bersama khalayak penduduk Madinah yang sedang menyambut Rasulullah saw. Bagaimana pengakuan tulusnya akan kepribadian Rasulullah saw. Dan taujih atau arahan Rasulullah saw yang beliau sampaikan dengan sangat puitis :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ قَال لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ انْجَفَلَ النَّاسُ إِلَيْهِ وَقِيلَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجِئْتُ فِي النَّاسِ لِأَنْظُرَ إِلَيْهِ فَلَمَّا اسْتَثْبَتُّ وَجْهَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ وَكَانَ أَوَّلُ شَيْءٍ تَكَلَّمَ بِهِ أَنْ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلَامٍ.
Dari Abdullah bin Salam berkata: Ketika Rasulullah saw hendak datang di Madinah, manusia pada menunggu-nunggu dan saling memberi kabar: Rasulullah datang, Rasulullah datang. Aku datangi kerumunan manusia. Ketika aku pastikan bisa melihat wajah Rasulullah saw, maka aku yakin bahwa raut wajahnya bukan tipe wajah pembohong. Dan pertama kali yang beliau ucapkan adalah: “Sebarkanlah salam, berilah makan orang yang membutuhkan, sambunglah persaudaraan dan shalat malamlah ketika manusia pada tertidur. Maka anda akan masuk surga dengan selamat.” (Sunan Tirmidzi, Jilid 9, Halaman. 25)
Sebarkan Salam
Subhanallah, ajaran agama yang sangat mulia bagi kemanusiaan. Betapa tidak, Islam pertama dan utama sekali menyuruh pemeluknya untuk menyebarkan salam yang berarti kedamaian, keselamatan dan kasih sayang. Karena salam Islam adalah penghormatan dari Allah swt. ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh. Semoga keselamatan, kasih sayang dan keberkahan Allah selalu bersama kalian.”
Sering kita dengar cerita orang sedang bepergian di negeri orang atau tempat yang asing lainnya, mendapatkan pertolongan dari orang lain atau ketemu kenalan baru gara-gara ucapan salam. Karena salamnya orang Indonesia dengan orang Turki sama, salamnya orang Jepang dengan orang Amerika sama, demikian juga salamnya orang Arab dengan Afrika sama.
Banyak sekali rahasia dari diperintahkan menyebarkan salam ini. Adalah untuk saling kenal, cinta, kasih sayang dan mendapatkan keberkahan do’a salam itu sendiri. Bahkan menjadi prasyarat mendapat tiket masuk surga Allah swt. Inilah rahasia yang pernah diungkap sendiri oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ.
Artinya: “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian benar dalam keimanan kalian. Dan kalian tidak akan sampai meraih keimanan yang benar sampai kalian saling mencintai di antara kalian. Maukah Aku tunjukkan perkara yang apabila kalian laksanakan kalian akan saling mencintai? “Sebarkan salam di antara kalian.” (Shahih Muslim, Jilid I, Halaman 180)
Bahkan terhadap orang yang tidak kita kenal sekali pun, sebagaimana sabda Rasulullah saw. ”Berilah salam terhadap orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal.”
Pelajaran menarik lain adalah bahwa kita tidak boleh pelit dalam mengucapkan salam dan menjawab salam. Justru berlomba untuk memberi doa yang terbaik dan terlengkap untuk saudara kita. Lihatlah taujih Allah swt dalam surat An Nisa’ ayat 86.
”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” Penghormatan yang dimaksud disini ialah: dengan mengucapkan assalamu’alaikum dengan tulus ikhlas.
Wujudkan Kepedulian
Langkah berikutnya ketika sudah terbiasa dengan salam, sapa dan saling kenal – sebagai pintu masuk mengetahui kondisi saudaranya-, ketika kondisi saudaranya sedang membutuhkan bantuan, pertolongan atau baru mendapat masalah, maka anjuran Rasulullah saw adalah agar kita peduli dengannya, menolong sesuai dengan yang ia butuhkan.
Ramadhan telah mentraining hamba-hamba Allah swt untuk merasakan penderitaan dan kesulitan hidup orang yang tidak berpunya. Dengan training itu muncul sikap kepedulian dan kebersamaan. Orang kaya akan merenung, ”ternyata saudara saya yang belum ketemu nasi dalam sehari sangat menderita”.
Ith’amuth tho’am atau memberi makan orang yang membutuhkan adalah lambang sikap kepedulian. Sehingga ia juga bisa berarti upaya sistematik untuk mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, pelayanan kesehatan yang memadai serta memberi bantuan pendidikan, bahkan gratis.
Sikap peduli ini sangat penting sehingga Allah swt pun mengecam keras orang yang tidak memiliki rasa kepedulian padahal ia berkecukupan. Bahkan Allah swt mengkatagorikan mereka sebagai pendusta agama. Allah swt berfirman dalam sura Al Ma’un : 1-3.
”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Kalau umat Islam secara umum mampu menghayati pesan ini, wabil khusus para pemimpin yang diberi amanah untuk melayani rakyatnya, maka tidak ada lagi yang akhirnya mati kelaparan, yang putus sekolah dan menderita sakit dan akhirnya meninggal karena tidak punya biaya berobat, wal iyadzu billah.
Galang Silaturahim
Sungguh, agung agama Islam ini. Setelah menganjurkan ummat Islam untuk saling mendekat dan saling kenal, mengalakkan sikap peduli terhadap sesama. Ternyata Islam juga mengunci kuat pintu-pintu konflik dan menutup rapat-rapat potensi permusuhan. Yaitu dengan anjuran menyambung persaudaraan, silaturahim.
Sesama muslim adalah saudara, bahkan persaudaraan itu kadang lebih kuat dibanding dengan persaudaraan darah sekalipun. Inilah yang ditegaskan Allah swt dalam firman-Nya:
”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” QS. Al Hujurat 10.
Ternyata ayat ini didahului dengan kisah dua golongan yang sama-sama mukmin yang sedang bermusuhan. Tapi mereka masih disebut dengan golongan yang beriman. Mereka diperintahkan untuk ruju’ dan dinyatakan dengan tegas bahwa mereka adalah bersaudara.
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al Hujurat : 9
Orang-orang yang saling bercinta karena Allah swt, saling menyambung persaudaraan fillah, akan dibanggakan Allah swt di hari kiamat kelak, sehingga para Anbiya’ dan Syuhada’ sekalipun cemburu dengan mereka. Rasulullah saw bersabda:
”Orang-orang yang saling mencintai karena kebesaran-Ku, pada hari kiamat kelak berada di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, yang menyebabkan para Nabi dan Syuhada cemburu akan kedudukan mereka.”
Sikap lapang dada, dewasa dan menghormati perbedaan pendapat atau golongan di antara umat Islam bisa menjadi katup pengikat kesatuan dan persatuan umat Islam.
Sisi lain Islam sangat mengecam permusuhan, persengketaan melebihi tiga hari, apalagi permusuhan abadi. Rasulullah saw bersabda:
”Barangsiapa yang bertengkar dengan saudaranya melebihi tiga hari, maka Aku tidak butuh ketaatan dan peribadatan keduanya, sampai keduanya rujuk kembali dan yang pertama rujuk adalah yang paling baik”.
Tradisi silaturahim tidak hanya dilakukan ketika lebaran atau bulan Syawal saja, apalagi ada embel-embel kepentingan politis. Namun anjuran silaturahim adalah setiap saat sesuai kadar yang dibutuhkan.
Menyambung persaudaraan tidak hanya dengan sesama muslim saja, namun juga dengan semua pemeluk agama lain. Rasulullah swt menjadi bukti konkrit dalam hal ini. Beliau meskipun setiap hari dicaci maki oleh lawan politiknya, diludahi oleh orang yang beda agama, namun beliau tetap berbuat manusiawi terhadap mereka. Justru dengan sikap itulah lawan-lawannya menjadi simpati dan masuk Islam.
Hidupkan Shalat Malam
Ramadhan telah mentarbiyah kita selama sebulan penuh untuk shalat tarawih. Shalat tarawih sebenarnya adalah istilah lain dari shalat malam di luar bulan Ramadhan. Sehingga bagaimana akhirnya kita berusaha untuk bisa meneruskan tradisi shalat tarawih atau shalat malam ini di luar bulan Ramadhan. Allah swt berfirman :
”Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al Muzzammil : 20
Ada tips yang pernah dicontohkan oleh dua sahabat besar dalam hal pelaksanaan shalat malam ini yaitu sahabat Abu Bakar dan Umar Radliyallahu anhuma. Model sahabat Umar bin Khattab ra yang mengerjakan shalat malam setelah melaksanakan shalat Isya’ langsung alias sebelum tidur dan ditutup dengan witir. Atau model sahabat Abu Bakar ra yang bangun sepertiga malam akhir untuk qiyamullail dan ditutup dengan witir.
Kesangggupan masing-masing kita berbeda-beda, apakah mau seperti sahabat Umar atau sahabat Abu Bakar radliyallahuma, tafadldlal saja.
Saudaraku, di Bulan Syawal yang berarti Bulan peningkatan amal kebaikan dan ketaatan ini, marilah kita tegaskan kembali komitmen kita sewaktu menjalani amaliyah ibadah Ramadhan; yaitu komitmen untuk menjadi manusia baru, insan taqwa, pemburu pintu Royyan. Dengan melaksanakan pesan-pesan mulia Rasulullah saw ini.
saudaraku, ketika resep Rasulullah swt itu bisa kita terapkan dalam tataran individu, maka pasti janji Allah swt berupa tiket Jannah dengan penuh kedamaian pasti akan diraih.
Dan jika konsep Rasulullah saw tersebut dapat diejawantahkan dalam tataran kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, maka kehidupan akan menjadi rukun, sejahtera, damai dan mendapat ridho Ilahi Rabbi, menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Insya Allah. Allahu A’lam.

[+/-] Selengkapnya...

AMALAN UTAMA DI BULAN SYAWAL

AMALAN UTAMA DI BULAN SYAWAL

Syawal merupakan bulan kemenangan bagi orang yang berjaya menghayati Ramadhan. Hari kemenangan atau hari raya, itu adalah augerah Allah buat hambaNya yang bersyukur. Seterusnya orang yang berjaya, akan menerima anugerah daripada Allah SWT di akhirat kelak.


Rasulullah telah bersabda:
”Hendaklah kamu bersungguh-sungguh pada hari raya Fitri ini melakukan sedekah, melakukan segala bentuk kebaikan dan kebajikan seperti melakukan sembahyang, berzakat, bertasbih, bertahlil karena sesungguhnya hari ini adalah hari yang Allah mengampunkan dosa-dosa kamu dan Allah SWT melihat pada kamu dengan rahmat.”


”Apabila tiba hari raya Fitrah, Allah SWT telah mengutuskan para malaikat, maka mereka pun turun di seluruh negeri, di seluruh pelosok dunia. Maka mereka pun berkata: Wahai umat Muhammada hendaklah kamu keluar kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Maka apabila mereka umat-umat Muhammad itu keluar kepada tempat solat mereka, lantas Allah SWT berfirman: Hendaklah kamu saksikan wahai para malaikat-Ku. Sesungguhnya Aku telah jadikan pahala mereka itu di atas puasa mereka sebagai keredhaan Ku dan keampunan dari Ku.”


Dari dua hadis ini, dapat tahu bahwa anugerah Allah kepada mereka yang berjaya menempuh Ramadhan ialah kedatangan Syawal yang membawa beberapa manfaat di antaranya:


1. Dapat keampunan dari Allah SWT
2. Doanya diterima Allah SWT
3. Allah memberi rahmat kepadanya
4. Dia mendapat keredhaan Allah SWT


Anugerah-anugerah ini adalah anugerah yang paling besar untuk seseorang mukmin. Apabila mereka mendapat anugerah-anugerah ini bermakna mereka mendapat jaminan segala amalannya diterima oleh Allah, jaminan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, keselamatan di dunia dan akhirat, dan bantuan Allah di dunia dan di akhirat. Merekalah orang-orang yang bertaqwa.


Orang mukmin menyambut Syawal dengan rasa kesyukuran dan terus melakukan amal ibadah dan amal kebaikan demi mengharap keredhaan Allah. Di antara amalan yang di syariatkan pada bulan Syawal ialah:


1. Membayar zakat fitrah
Saat akan berakhirnya bulan Ramadhan ada pula ibadah yang diwajibkan mengiringinya yaitu zakat fitrah. Sabda Rasulullah:
”Amalan puasa Ramadhan itu digantungkan antara langit dan bumi, dan baru diangkat setelah dikeluarkan zakat fitrah.”


2. Bertakbir dan bertahmid
Lafadz takbir itu banyak corak ragamnya. Yang paling sahih dalilnya ialah yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dari Salman dengan sanad yang sahih:
”Bertakbirlah kamu: Allaahu Akbar, Allaahu Akbar, Allaahu Akbar Kabiraa (Allah Masa Besar, Allah Maha Besar sungguh-sungguh Besar)


3. Mendirikan sembahyang IdulFitri
Menurut Sunnah Rasulullah shalat Idul Fitri itu didirikan di lapangan terbuka. Sebaik-baik perjalanan ke tempat shalat melalui jalan dekat dan pulangnya melalui jalan lain. Sepanjang perjalanan ke tempat shalat laungkan takbir dan tahmid.


4. Menyambut Hari Raya mengikut syariat sebagai tanda kesyukuran dan kemenangan karena berjaya melaksanakan perintah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan.


5. Membantu orang susah/melayani anak yatim
Di hari raya ini, anak-anak yatim dan orang-orang miskin tidak dapat bergembira sebagaimana orang lain. Dengan demikian menjadi tanggung jawab kita membantu dan menggembirakan mereka. Inilah yang telah dilakukan Rasulullh saw.


6. Puasa Enam
Puasa enam ialah puasa enam hari di bulan Syawal, berpuasa setelah sehari menyambut hari raya. Puasa ini dibolehkan dikerjakan secara berturut-turut enam hari atau tidak asalkan dalam bulan Syawal. Banyak keistimewaannya, sabda Rasulullah :


”Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan enam hari bulan Syawal, maka seolah-olah ia telah berpuasa sepanjang masa.”(Riwayat Jamaah kecuali Bukhari dan An-Nasa’i juga diriwayatkan oleh Ahmad dari hadis Jabir)


[+/-] Selengkapnya...

Keutamaan di Bulan Syawal

Keutamaan di Bulan Syawal

Memasuki Ramadhan, biasanya kita mengucapkan Marhaban Ya Ramadhan! Tapi untuk bulan Syawal, tidak pernah kita mendengar orang mengucapkan Marhaban Ya Syawal! Padahal, Syawal juga bulan istimewa dan memiliki keutamaan. Inilah beberapa keistimewaan bulan Syawal.

SETELAH melewati bulan Ramadhan, kita memasuki bulan Syawal, bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah. Nyaris tidak ada penyambutan terhadap datangnya bulan syawal. Berbeda dengan ketika menyambut Ramadhan, biasanya kita mengucapkan Marhaban Ya Ramadhan! Tapi untuk bulan Syawal, tidak pernah kita mendengar orang mengucapkan Marhaban Ya Syawal!

Padahal, Syawal juga bulan istimewa dan memiliki keutamaan. Inilah beberapa keistimewaan bulan Syawal.

Bulan Kembali ke Fitrah

Syawal adalah bulan kembalinya umat Islam kepada fitrahnya, diampuni semua dosanya, setelah melakukan ibadah Ramadhan sebulan penuh. Paling tidak, tanggal 1 Syawal umat Islam “kembali makan pagi” dan diharamkan berpuasa pada hari itu.

Ketibaan Syawal membawa kemenangan bagi mereka yang berjaya menjalani ibadah puasa sepanjang Ramadan. Ia merupakan lambang kemenangan umat Islam hasil dari "peperangan" menentang musuh dalam jiwa yang terbesar, yaitu hawa nafsu.

Bulan Takbir

Tanggal 1 Syawal, Idul Fitri, seluruh umat Islam di berbagai belahan mengumandangkan takbir. Maka, bulan Syawal pun merupakan bulan dikumandangkannya takbir oleh seluruh umat Islam secara serentak, paling tidak satu malam, yakni begitu malam memasuki tanggal 1 Syawal alias Malam Takbiran, menjelang Shalat Idul Fitri.

Kumandang takbir merupakan ungkapan rasa syukur atas keberhasilan ibadah Ramadhan selama sebulan penuh. Kemenangan yang diraih itu tidak akan tercapai, kecuali dengan pertolongan-Nya. Maka umat Islam pun memperbanyakkan dzikir, takbir, tahmid, dan tasbih. “"Dan agar kamu membesarkan Allah atas apa-apa yang telah Ia memberi petunjuk kepada kamu, dan agar kamu bersyukur atas nikmat-nikmat yang telah diberikan" (QS. Al-Baqarah: 185).

Bulan Silaturahmi

Dibandingkan bulan-bulan lainnya, pada bulan inilah umat Islam sangat banyak melakukan amaliah silaturahmi, mulai mudik ke kampung halaman, saling bermaafan dengan teman atau tetangga, hala bihalal, kirim SMS dan telepon, dan sebagainya. Betapa Syawal pun menjadi bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan Allah karena umat Islam menguatkan tali silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah.

Bulan Ceria

Syawal adalah bulan penuh ceria. Di Indonesia bahkan identik dengan hal yang serba baru –baju baru, sepatu baru, perabot rumah tangga baru, dan lain-lain. Orang-orang bersuka cita, bersalaman, berpelukan, bertangis bahagia, mengucap syukur yang agung, meminta maaf, memaafkan yang bersalah.

Begitu banyak doa terlempar di udara. Begitu banyak cinta kasih saling diberikan antar seluruh umat manusia. Aura maaf tersebar di seluruh penjuru bumi, nuansa peleburan dosa, nuansa pencarian makna baru dalam hidup.

Puasa Satu Tahun

Amaliah yang ditentukan Rasulullah Saw pada bulan Syawal adalah puasa sunah selama enam hari, sebagai kelanjutan puasa Ramadhan.

“Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

“Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawal yang menggenapkannya satu tahun” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).

Bulan Nikah

Syawal adalah bulan yang baik untuk menikah. Hal ini sekaligus mendobrak khurafat, yakni pemikiran dan tradisi jahiliyah yang tidak mau melakukan pernikahan pada bulan Syawal karena takut terjadi malapetaka.

Budaya jahiliyah itu muncul disebabkan pada suatu tahun, tepatnya bulan Syawal, Allah Swt menurunkan wabah penyakit, sehingga banyak orang mati termasuk beberapa pasangan pengantin. Maka sejak itu, a kaum jahiliah tidak mau melangsungkan pernikahan pada bulan Syawal.

Khurafat itu didobrak oleh Islam. Rasulullah Saw menunjukkan sendiri bahwa bulan Syawal baik untuk menikah. Siti Aisyah menegaskan: “Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya?”. Selain dengan Siti Aisyah, Rasul juga menikahi Ummu Salamah juga pada bulan Syawal.

Menurut Imam An-Nawawi, hadits tersebut berisi anjuran menikah pada bulan Syawal. ‘Aisyah bermaksud, dengan ucapannya ini, untuk menolak tradisi jahiliah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawal tidak baik.

Bulan Peningkatan

Inilah keistimewaan bulan Syawal yang paling utama. Syawal adalah bulan “peningkatan” kualitas dan kuantitas ibadah. Syawal sendiri, secara harfiyah, artinya “peningkatan”, yakni peningkatan ibadah sebagai hasil training selama bulan Ramadhan. Umat Islam diharapkan mampu meningkatkan amal kebaikannya pada bulan ini, bukannya malah menurun atau kembali ke “watak” semula yang jauh dari Islam. Na’udzubillah.

Bulan Pembuktian Takwa

Inilah makna terpenting bulan Syawal. Setelah Ramadhan berlalu, pada bulan Syawal-lah “pembuktian” berhasil-tidaknya ibadah Ramadhan, utamanya puasa, yang bertujuan meraih derajat takwa.

Jika tujuan itu tercapai, sudah tentu seorang Muslim menjadi lebih baik kehidupannya, lebih saleh perbuatannya, lebih dermawan, lebih bermanfaat bagi sesama, lebih khusyu’ ibadahnya, dan seterusnya. Paling tidak, semangat beribadah dan dakwah tidak menurun setelah Ramadhan. Wallahu a’lam.

[+/-] Selengkapnya...

Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal

Keutamaan Puasa Sunnah 6 Hari di Bulan Syawwal

Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh.”[1]

Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[2].

Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:

Pahala perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari, pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari, yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[3].

Keutamaan ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa Syawwal[4].

Meskipun demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa Ramadhan[5].

Lebih utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[6]

Lebih utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan untuk mengerjakannya jika ditunda[7].

Melakukan puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda kesempurnaan imannya[8].

Ibadah-ibadah sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[9].

Tanda diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal ibadah lain setelahnya[10].

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 06 September 2010

Pengertian Zakat Profesi

Pengertian Zakat Profesi

Sebelum pembaca mengetahui pengertian zakat profesi yang dikemukakan oleh para candikiawan muslim, terlebih dahulu penulis ingin mengungkapkan pengertian zakat dan profesi.
Pengertian zakat secara etimologis atau menurut bahasa adalah bahasa arab yang artinya kesuburan, kesucian, keberkahan dan kebaikan yang banyak. Dikatakan kesucian, sebab zakat dapat mensicikan harta orang yang berzakat dari segala kotoran yang haram, dan dapat mensucikan jiwa orang tersebut dari sifat bakhil dan kikirDidalam kamus bahasa Indonesia (1989:702) disebutkan bahwa: profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandaskan pendidikan keahlian (ketempilan, kejuruan dan sebaginya) tertentu. Profesional adalah yang bersangkutan dengan profesi memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankan. Sedangkan menurut fachrudin (1996:23): seperti dikutip oleh Muhammad dalam buku zakat profesi: wacana pemikiran zakat dalam fiqih kontemporer, profesi adalah segala usaha yang halal yang mendatangkan hasil(uang) yang relative banyak dengan cara yang mudah, baik melalui suatu keahlian atau tidak.
Dengan demikian, definisi tersebut diatas maka diperoleh rumusan zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil usaha yang halal yang dapat mendatangkan uang yang relaitif banyak dengan cara yang mudah, melalui suatu keahlian tertentu. Dari definisi diatas jelas ada poin-poin yang perlu di garisbawahi berkaitan dengan pekerjaan profesi yang dimaksud, yaitu:
A. jenis usaha ny halal
B. menghasilkan uang yang relative
C. dieroleh dengan cara yang mudah
D. melalui keahlian tertentu
Zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nisab (batasan minimum untuk bisa berzakat).
Yang dimaksudkan dengan zakat profesi adalah zakat penghasilan atu pendapatan seperti gaji, honorium, komisi dan sebagainya. Semua profesi tersebut apabila menghasilkan uang senilai minimal 96 gram emas murni selam 1 tahun, maka wajib dikeluarkan zakat nya sebesar 2,5%.
Istilah ini sebenarnya sudah banyak dikenal, tetapi memang belum memasyarakat. Zakat profesi adalah zakat atas setiap penghasilan yang dieterima oleh sesorang yang merupakan imbalan atas kerja atau jasa yang dilakukannya.

2. Dasar Hukum, Syarat Wajib, Nishab dan Kadar Zakat Profesi
Dinyatakan oleh hasbi, bahwa harta-harta yang merupakan kekayaan yang tumbuh pada masa sekarang ini yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. Dapat kita melakukan qiyas kepada harta-harta yang telah dikenakan zakat oleh Rasulullah SAW atau kita keluarkan hukumnya dengan melihat yurisprudensi penetapan para sahabat nabi sesudah rasul SAW wafat. Dengan demikian, segala kekayaan yang lahir daaari zaman modern ini tidak ada yang terlepas dari kewajiban membayar zakat5 menurut pendapat Yusuf Qardawi seperti kutipan Muhammad dalam buku zakat profesi: wacana pemikiran zakat dalam fiqih kontemporer Qardawi menyatakan bahwa beberapa harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya sebagai telah dijelaskan oleh nash Al-Quran dan Al Hadist. Sedangkan terhadap jenis kekayaan lain yag belum ditegaskan oleh nash, para Fugaha’ melakukan ijtihad untuk menentukan statusnya dengan menghasilkan bermacam-macam pendapat, sempit, sedang, dan luas (1999). disamping itu, masih ada beberapa hal lain yang belum disinggungkan oelh pembahasan atau ijtiahad para fuqaha’ terdahulu.
a. Dasar Hukum Zakat Profesi
Dalam fiqh, zakat profesi merupakan hal baru. Sebab dua sumber hukum islam, Al-Quran dan Sunnah, tak mengaturnya secara tegas. Demikian pula para pendiri mazhab tak membahasnya dalam kitab-kitabnya. Hal ini akibat tak begitu beragamnya jenis pekerjaan, pda masa kenabian Muhammad pada mujahid kali itu, wajar saja jika istilah zakat profesi tak dikenal. Akhirnya, berlajut pada perbedaan ulama mengenai zakat profesi ini.
Profesi sebagai pegawai swasta, dokter maupun pengacara memang tak banyak dikenal pada masa dahulu. Beda halnya dengan pertaniaan dan perternakan, tak heran jika masalah zakat diseputar kedua bidang ini dibahas secara mendalam.
Namun tak berarti harta dari hasil profesi ini lepas dari kewajiban zakat. Karena pada dasarnya, zkat merupakn pungutan harta dari orang yang mampu guna diberikan kepada dhuafa.
Maka andaikata dengan profesinya ia menjadi mampu, diwajibkanlah atasnya membayar zakat. Sebaliknya, apabila penghasilannya tak mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya atau sekedar menutupi kebutuhannya maka ia tak memiliki kewajiban itu. Zakat profesi sendiri merupakan zakat yang dikenakan pada setiap profesi tertentu, dan mendatangkan penghasilan serta memenuhi nisab(batas minimum untuk bisa berzakat).
Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apabila telah menccapai nisab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah SWT dalam surat At-Taubah:103 dan al-Baqarah: 267 dan juga Adz-Dzariyat: 19
“Dan pada harta – harta merka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan porang miskin yang tidak mendapat bagian.”
Alasan atau dasar hukum diwajibkannya zakat uang gaji dan komisi bagi para pegawai negri dan swasta, dokter, pengacara dan sebaginya adalah berdasarkan firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman , nafkahkan lah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik (Qs al-Baqarah:267).
Dan berdasarkan pendapat imam Qalyubi dalam kitab Qalyubi Wa’umairah juz 2 hal 27, seperti dikutip oleh Abdurrahmim dan Mubarak dalm buku Zakat dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa serta Kemaslahatan Bagi Umat, berikut ini:

Artinya :
“Dan termasuk memuterkan harta tijarah/perdagangan ialah upah mencelupkan pakaian , menyamak dan memiyaki kulit”.
Dan berdasarkan kitab ”Bugyatul Mustarsyidin” halaman 112 sebagai berikut:
Artinya “Faidah orang membeli pencelupan dan penyamak kulit untuk usahanya agar ia mencelupkan dan menyamakan orang lain atau membeli gaji/lemak untuk meminyaki kulit umpanuan dan barang itu berada padanya sampai setahun (haul) maka barang itu temasuk harta tijarah/perdagangan yang wajib dizakati”.
Pendapat Syyid Quthub (wafat 1965 M) dalam tafsirannya Fi Zhilalil Qur’an juz I, hal 310-311, seperti dikutip oleh Didin Hafidhuddin dikatakan bahwa ketika menafsirkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 267 menyatakan bahwa nash ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal mencakup pula seluruh yang dikeluarkan allhswt dari dalam da atas bumi, seperti hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu nash ini mencakup semua harta , baik yang terdapat di zaman rasulullah SAW, maupun dizaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagimana diterangkan dalam sunnah rasullulah saw, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di-qiyas-kan kepadanya.
Dari keterangan diatas dasar hukum zakat profesi, memang ditulis secara tekstual didalam Al-Quran dan Hadist, namun secara kontekstual perintah untuk mengeluarkan harta yang diperoleh denagn cara halal dan telah mencapai nisab, telah diperintahkan dalam alquran surat al-Baqarah ayat 267. yang di-qiyas-kan kepada zakat mal. Karena istilah profesi dan penghasilan yang diproleh secara profesional pun baru muncul belakangan.
b. Syarat Wajib Zakat Profesi
Dari keterangan diatas dapat dipahani bahwa profesi yang menghasilkan berupa uang gaji dan komisi adalah qiyas-kan kepada tijarah/perdagangan. oleh karena itu syarat-syaart wajib zakat uang gaji, pendapatan dan uang komisi tersebut disamakan dengan syarat-sayarat zakat tijarah/perdagangan.
Dan salah satu syarat tijarah ialah haul dan nisab sebagi keterangan dari kitab Qalyubi Wa’umairah juz 2 hal 27, seperti dikutip oleh Abdurrahim dan Mubarak dalam buku zakat dan peranannya dalam pembangunan bangsa serta kemaslahatan bagi umat, berikut ini:
Artinya “Adapun syarat wajib zakat tijarah ialah haul dan nisab yang diperhitungkan pada akhir tahu”
Haul Atinya batas penghitungan waktu penghitungan waktu pemilikan uang/harta yang hendak dizakati sesudah mencapai waktu atau tahun.
c. Nisab dan kadar zakat profesi
Nisab adalah batasan penghitungan terendah nilai harta yang wajib dizakati. Dan nisab zakat profesi itu senilai 94 sampai 96 gram emas murni.
Kadar /ukuran zakat yang harus dikeluarkan dari harta atau gaji, penghasilan dan uang komisi itu sama dengan kadar/ukuran zakat perdagangana yaitu sebesar 2,5%.
Mengenai besarnya nilai zakat penghasilan ini, terdapat perbedaan dikalangan ulama, kerena tidak adanaya dalil yang tegas tentang zakat profesi. (yang sekarang disebut Al-Maalul Mustafad), sehingga mereka menggunakan Qiyas (Analogi) dengan melihat ‘Illat(sebab hokum)yang sama kepada aturan zakat yang sudah ada.
Syaikh MUHAMMAD Al-Ghazali meng-qiyas-kan zakat profesi dengan zakat pertanian. Sehingga, menurutnya, beban zakat setiap pendapatan sesuai dengan ukuran beban pekerjaan atau pengusahaannya, seperti ukuran beban petani dalam mengairi tanahnya, yaitu 5% atau 10%.
Perbedaan dikalangan para cendikiawan tentang ketentuan nisab dan kadar zakat profesi merupakan buah pemikiran yang harus kita hargai dan kita banggakan, asalkan perbedaan tersebut memiliki dasar hukum qiyas yang telah dilaksanakan oleh rasulullah SAW dan para sahabat.

3. Cara Menghitung Zakat Profesi
Setiap akhir tahun, pendapatan seseorang muslim seperti uang gaji dan lainnya, dihitung dan bila memperoleh penghasilan bersih minimal 96 garam emas murni, maka dikeluarkan zajkatnya sebesar 2,5%.

Contoh Perhitungannya:
Seorang karyawan menerima gaji poko Rp 800.000/perbulan. Penghasilan lainnya yang berhubungan dengan kepegawaiannya, seperti tunjangan jabatannya, tunjangan profesi, tunjangan keahlian Rp100.000/perbulan. Tetapi untuk keperluan pokok seperti sewa rumah, biaya makan dan biaya sekolah anak tiap bulan Rp400.000,jadi sisa yang ada padanya tiap bulan hanya Rp 500.000.
Penghitungannya :
uang yang ada padanya akhir tahun adalah 11 x Rp 500.000 +(Rp 800.000 + Rp 100.000) = Rp 6.400.000. jumlah ini belum mencapai nisab 96 gram murni ( missal @ Rp 90.000/gram) : 96 X Rp 90.000 = Rp 8.640.000, maka karyawan itu terkena wajib zakat profesi karena penghasilan bersihnya dalam satu tahun hanya Rp 6.400.000, sedangkan nisabnya Rp 8.640.000, tetapi apabila penghasilan bersih nya minimal Rp 8.640.000 maka wajib dikeluarkannya zakat yaitu 2,5%.

4. Yang Berhak Menerima Zakat Profesi
Orang yang berhak menerima zakat profesi (mustahik) sama ketentuannya dengan penerima zakat harta/ kekayaan yang lainnya, yaitu orang –orang yang telah ditentukan oleh allah SWT yaitu 8 asnaf.

5. Fungsi Zakat Profesi
Allah SWT mewajibkan zakat tidak hanya sekedar untuk mensucikan diri siwajib zakat ini atau sekedar untuk meyuburkan rasa belas kasih kepada sesame manusia. Akan tetapi, Dengan tujuan untuk membangun suatu masyarakat islam yang hidup secara gotong royong dan sejahtera.
Apabila kita perhatikan nash-nash Al-Quran yang berhubungan dengan soal zakat ini serta hukum-hukum yang diistinbatkan oleh para fuqaha yang kenamaan, tegaslah bahwatujuan syariat islam dalam menetapkan aturan zakat ini ialah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dengan dapat dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan uamat di setiap masa. Jika kita memahami hal-hal islam dan falsafahnya, maka fungsi zakat ini adalah untuk membina masyarakat yang sejahtera adil dan makmur.

6. Sosialisasi Zakat profesi
sosialisasi adalah proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaiman bertindak dan berfikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarkat. Proses sosialisai sebenarnya berawal dari dalam keluarga.
Dalam proses sosialisasi zakat profesi harus diawali oleh individu atau sekelompok orang yang telah memahami ketentuan fiqih tentang zakat profesi. Untuk itu lembag Amil Zakat (LAZ) yang lingkupnya local, harus mempunyasi system atau cara tertentu dalam mensosialisasikan perlunya zakat profesi dilaksanakan, kepada para calon muzakki lembag yang didirikannya.
Salah satu tugas penting lain dari lembaga pengelola zakat adalah melakukan sosialisasi tentang zakat kepada masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan, melalui berbagai forum dan media seperti seminar, diskusi, media suart kabar, majalah, bahkan internet. Dengan sosialisasi yang baik dan optimal, diharapkan masyarakat muzakki akan samakin sadar untuk membayar zakat melalui lembaga yang kuat, amanah dan terpercaya. Untu itu , lembag penelola zakat khususnya zakat profesi perlu mensosialisasikan penerimaan, pengelolaan dan pendistribusian. Selanjutnya dilaporkan kepada muzakki , hal ini perlu dilakuakn sebagai tanggung jawab serta amanah yang telah dititipkan kepada lembaga tersebut.

[+/-] Selengkapnya...

Pengertian Zakat Maal

Pengertian Zakat Maal

1. Pengertian
Zakat maal yaitu zakat yang harus dikeluarkan setiap umat muslim terhadap harta yang dimiliki, yang telah memenuhi syarat, haul, nisab dan kadarnya.
Menurut Undang-Undang No 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dalam penjelasan pasal 11 ayat (1). Zakat maal adalah bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Adapun jenis-jenis harta yang menjadi sumber zakat yang dikemukakan secara terperinci dalam al-qur’an dan al-hadist, pada dasarnya ada empat jenis yaitu: tanam-tanaman, buah-buahan, hewan ternak, emas dan perak, serta harta perdagangan.Sedangkan menurut Sayyid Sabiq , harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yaitu emas, perak, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, perdagangan, hewan ternak, barang tambang, harta temuan (rikaz). Kesimpulannya harta yang wajib dizakati digolongkan dalam kategori:
a. Emas, perak dan uang
b. Barang yang diperdagangkan
c. Hasil peternakan
d. Hasil bumi
e. Hasil tambang dan barang temuan
2. Dasar Hukum, Nisab, Kadar dan Waktu pengeluaran
a. Emas, Perak dan Uang
Kewajiban mengeluarkannya setelah memenuhi persyaratan tertentu yang dinyatakan dalam surat At-Taubah ayat 34:
ﻮﺍﻟﺬﻴﻦ ﻴﻜﻨﺰﻮﻦ ﺍﻠﺬﻫﺏ ﻮﺍﻟﻔﺿﺔ ﻮﻻﻴﻨﻔﻘﻮﻨﻬﺎ ﻔﻰﺴﺒﻴﻞ ﺍﻟﻟﻪ ﻔﺒﺸﺮﻫﻡ ﺒﻌﺬﺍﺏ ﺍﻟﻴﻡ
Artinya :”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah mereka (bahwa mreka akan mendapat) siksa yang pedih”.
Adapun syarat utama zakat emas, perak dan uang adalah mencapai nisab dan haul. Besar nisab dan jumlah yang wajib dikeluarkan berbeda-beda. Nisab emas adalah 20 dinar lebih kurang sama dengan 94 gram emas murni. Nisab perak adalah 200 dirham lebih kurang sama dengan 672 gram. Sedangkan nisab uang baik kartal maupun giral adalah senilai 94 gram emas. Masing-masing zakatnya dikeluarkan sebesar 2,5 %
b. Barang yang diperdagangkan
Dasar hukum kewajibannya adalah dalam surat Al-Baqarah ayat 267
Ada tiga syarat utama kewajiban zakat pada perdagangan. Pertama, niat berdagang, kedua mencapai nisab dan ketiga, telah berlalu satu tahun (haul)
Besarnya nisab senilai denagn 94 gram emas, dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % yaitu setiap tutup buku setelah perdagangan berjalan satu tahun.
c. Hasil peternakan
Dalam beberapa hadist dikemukakan bahwa hewan ternak yang wajib dikeluarkan zakatnya setelah memenuhi persyaratan tertentu, ada tiga jenis hewan ternak yang dikeluarkan zakatnya yaitu unta, sapi, dan domba atau kambing.
Adapun persyaratan utama kewajiban zakat peternakan sebagai berikut:
1) Mencapai nisab, untuk kambing atau biri-biri adalah 40 ekor, setiap 40-120 ekor zakatnya 1 ekor dan seterusnya setiap penambahan 100 ekor maka bertambah zakatnya 1 ekor. Nisab sapi adalah 30-39 ekor zakatnya 1 ekor sapi berumur 1 tahun lebih, 40-59 ekor zakatnya 1 ekor sapi berumur 2 tahun lebih, 60-69 ekor zakatnya 2 ekor sapi berumur 1 tahun lebih, 70-79 ekor zakatnya 2 ekor sapi berumur 1 tahun dan 2 tahun lebih. Nisab kerbau sama dengan sapi.
2) Telah melewati satu tahun (haul)
3) Digembalakan ditempat penggembalaan umum, tidak diperuntukan keperluan pribadi pemiliknya dan tidak pula dipekerjakan.
d. Hasil bumi (makanan pokok dan buah-buahan)
Pengeluaran zakatnya tidak harus menunggu satu tahun dimiliki tetapi harus dikeluarkan setiap kali panen atau menuai. Nisabnya kurang lebih 1.350 Kg gabah, 750 Kg beras, sedangkan kadarnya 5 % untuk hasil bumi untuk irigasi, 10 % untuk hasil bumi tanpa irigasi.
e. Hasil tambang dan barang temuan (ma’dim dan rikaz)
Dalam kitab-kitab hukum (fiqh) islam, barang tambang dan barang temuan yang wajib dizakati hayalah emas dan perak saja. Nisab barang tambang adalah sama dengan nisab emas (94 gram) dan perak (672 gram). Kadarnya pun sama yaitu 2,5 % dikeluarkan setiap kali barang tambang tersebut selesai diolah.
Sedangkan barang temuan zakatnya dikeluarkan setiap kali orang menemukan barang tersebut, menurut kesepakatan ulama empat mahzab, harta rikaz wajib dizakati seperlimanya (20 %) tidak ada nisab.

[+/-] Selengkapnya...

CARA PEMBAYARAN ZAKAT MAL

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 04 September 2010

Berhari raya lebaran sesuai sunnah Nabi

Berhari raya lebaran sesuai sunnah Nabi


Idul Fithri dan Idul Adh-ha adalah pengganti hari raya yang pernah dirayakan oleh masyarakat jahiliyyah dahulu, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Dahulu masyarakat jahiliyyah memiliki dua hari dalam setiap tahunnya, di mana mereka bersuka-ria di hari itu, maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, Beliau bersabda:

كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى * (النسائي)

“Dahulu kamu memiliki dua hari untuk bersuka-ria, dan Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Fithri dan Idul Adh-ha.”[i] (Shahih, diriwayatkan oleh Nasa’i)

Dalam berhari raya ada beberapa hal yang perlu kita ketahui:

Hukum shalat ‘Ied

Para ulama berselisih tentang hukum shalat Ied, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh seorang Arab baduwi, “Apakah ada kewajiban lain selain shalat lima waktu?” Beliau menjawab:

لاَ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ

“Tidak ada, kecuali jika kamu mau melakukan yang sunat.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ada pula ulama yang berpendapat bahwa hukum shalat ‘Ied adalah fardhu kifayah.

Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu ‘ain karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakannya, bahkan menyuruh para sahabat untuk mendatanginya sampai-sampai menyuruh semua wanita keluar baik yang gadis, yang dipingit maupun yang haidh, anyasaja bagi wanita yang haidh diperintahkan menyingkir dari tempat shalat (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Di samping itu, shalat Jum’at sampai bisa menjadi gugur jika bertepatan dengan hari raya.

Dari ketiga pendapat ini yang rajih -insya Allah- pendapat yang terakhir, yakni hukumnya fardhu ‘ain, hal itu karena awal-awal pembelajaran (yakni jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang Arab baduwi) tidak bisa dijadikan alasan untuk memalingkan perintah yang datang setelahnya, jika demikian berarti membatasi kewajiban syari’at hanya lima itu saja, wallahu a’lam.

Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied

Waktu pelaksanaan shalat ‘Ied dimulai dari terbitnya matahari setinggi satu tombak[ii] sampai tergelincirnya matahari, sebaiknya untuk shalat Idul Fitri ditunda (sampai kira-kira setinggi dua tombak) sehingga orang-orang yang belum sempat berzakat bisa berzakat. Sedangkan untuk shalat ‘Idul Adha sebaiknya di awal waktu (ketika matahari setinggi satu tombak) agar orang-orang bisa berqurban lebih pagi.

Tatacara pelaksanaan shalat ‘Ied

Shalat ‘Ied lebih utama dilaksanakan di tanah lapang tidak di masjid kecuali jika memang ada ‘udzur seperti hujan[iii], dsb.

Menurut Imam Nawawi, jika di Makkah, maka di Masjidil Haram lebih utama.

Dalam shalat ‘Ied tidak ada azan dan iqamat, demikian juga tidak ada ucapan “Ash Shalaatu Jaami’ah”. Jumlah shalat ‘Ied 2 rak’at; pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali[iv] sebelum membaca Al Fatihah, sedangkan pada rak’at kedua bertakbir sebanyak 5 kali selain takbir intiqal (berpindah gerakan), hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Idul Fitri dan Adh-ha; pada rak’at pertama tujuh kali takbir dan pada rak’at kedua lima kali takbir. (hadits hasan, HR. Abu Dawud no. 1149).

Ibnul Qayyim berkata, “Beliau -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memulai shalat (‘Ied) sebelum berkhutbah[v]. Beliau shalat sejumlah 2 rak’at, pada rak’at pertama bertakbir sebanyak 7 kali berturut-turut dengan takbiratul iftitah (takbiratul ihram), Beliau diam sebentar antara masing-masing takbir tetapi tidak dihapal dzikr khusus dari Beliau antara masing-masing takbir[vi], namun ada riwayat dari Ibnu Mas’ud bahwa ia -antara masing-masing takbir- memuji Allah dan menyanjung-Nya serta bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan oleh Al Khallaal. Ibnu Umar seorang yang sangat kuat ittiba’nya (mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengangkat kedua tangannya pada setiap kali takbir[vii].” (Zaadul Ma’aad 1/343)

Bacaan dalam Shalat ‘Ied setelah Al Fatihah

Dianjurkan dalam shalat ‘Ied membaca surat Qaaf pada rak’at pertama dan surat Al Qamar pada rak’at kedua setelah membaca Al Fatihah atau membaca surat Al A’la pada rak’at pertama dan surat Al Ghaasyiyah pada rak’at kedua (sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim).

Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah ‘ied

Sunnah yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa khutbah ‘Ied itu dilakukan setelah shalat, demikian juga dalam berkhutbah khatib berdiri[viii] menghadap jama’ah tanpa memakai mimbar (berdasarkan riwayat Ibnu Khuzaimah).

Jika hari raya bertepatan dengan hari Jum’at

Jika hari hari raya bertepatan dengan hari jum’at maka kewajiban shalat jum’at menjadi gugur, namun bagi imam sebaiknya mengadakan shalat Jum’at, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قَدِ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

Pada harimu ini berkumpul dua hari raya, maka barang siapa saja yang mau, ia boleh tidak shalat Jum’at, namun kami melaksanakannya.” (Shahih Ibnu Majah 1083)

Dan bagi yang tidak shalat Jum’at, wajib menggantinya dengan shalat Zhuhur, ‘Atha’ bin Abi Ribaah mengatakan, “Ibnuz Zubair shalat bersama kami pada pagi hari Ied di hari Jum’at, lalu kami kembali lagi untuk (shalat) Jum’at, namun ia tidak hadir, maka kami pun shalat (Zhuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu Ibnu Abbas masih di Thaa’if, saat datang, maka kami memberitahukan hal tersebut kepadanya, ia pun mengatakan, “(Ibnuz Zubair) telah sesuai dengan Sunnah.” (diriwayatkan oleh Abu Dawud).

Masalah yang berkaitan dengan shalat ‘Ied

- Jika seseorang luput (tertinggal) shalat ‘Ied, maka ia mengerjakan shalat ‘Ied meskipun sendiri, dan bisa melakukannya berjama’ah dengan keluarga.

Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas berkata, “Anas -radhiyallahu ‘anhu- apabila tertinggal shalat ‘Ied bersama imam, ia mengumpulkan keluarganya lalu shalat bersama mereka seperti shalatnya imam di hari raya.” (Hasan lighairih, HR. Baihaqi)

- Untuk shalat ‘Idul Adha jika terhalang (tidak dapat melakukan shalat ‘Idul Adha pada hari nahr atau10 Dzulhijjah) maka di hari tasyriq pun bisa (yakni tanggal 11, 12 atau 13 Dzulhijjah) sebagaimana dalam berqurban. Tentunya dilakukan setelah terbit matahari setinggi satu tombak dan berakhir sampai matahari tergelincir. Hal ini, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan hari tasyriq dengan hari raya.

- Jika seseorang mengetahui hari ‘Ied ketika matahari sudah tergelincir (sudah tiba waktu Zhuhur), di mana ketika ini waktu shalat ‘Ied sudah habis, maka shalat ‘Ied bisa dilakukan besoknya, hal ini berlaku untuk ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha. Alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Umair bin Anas.

- Dalam safar (perjalanan) tidak disyari’atkan mengadakan shalat ‘Ied, karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau melakukan shalat ‘Ied ketika safarnya. Namun jika seseorang berada di negeri orang lain, di mana penduduknya melakukan shalat ‘Ied maka ia harus ikut bersama mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh keluar semua yang ada di rumah baik laki-laki maupun wanita tanpa membeda-bedakan.

- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sampai ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied, tidak melakukan shalat apa-apa sebelum shalat ‘Ied maupun setelahnya (sebagaimana dalam hadits riwayat tujuh orang ahli hadits), dan jika sampai di rumahnya Beliau shalat dua rak’at (berdasarkan riwayat Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani).

Namun bila ada ‘udzur seperti hujan, lalu shalat ‘Ied di masjid, maka tetap berlaku shalat tahiyatul masjid –Wallahu a’lam-.

Adab-adab di hari raya

Adab-adab apabila kita di hari raya adalah sbb.:

- Mandi

‘Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya tentang mandi yang disyari’atkan, ia menjawab, “Mandi hari Jum’at, mandi hari ‘Arafah, mandi Idul Fithri dan Idul Adhha.” (HR. Baihaqi melalui jalan Syaafi’i dari Zaadzaan)

- Berhias (tajammul)[ix] dan memakai baju yang bagus.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai burdah berwarna merah pada hari raya.” (Silsilah Ash Shahiihah 1278)

Ibnu Abid Dunyaa dan Baihaqi meriwayatkan dengan isnad yang shahih bahwa Ibnu Umar memakai baju yang bagus di dua hari raya.” (Fat-hul Bariy 2/51)

- Jika ‘Idul Fitri dianjurkan makan terlebih dahulu[x] sebelum berangkat menuju lapangan. Sedangkan jika idul Adh-ha dianjurkan makannya setelah shalat Idul Adh-ha.

Abdullah bin Buraidah meriwayatkan dari bapaknya, bahwa ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar (menuju lapangan) pada Idul Fithri sehingga Beliau makan, dan pada Idul Adh-ha tidak makan sampai Beliau melaksanakan shalat.” (Shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi)

- Dianjurkan berangkat menuju tanah lapang dengan berjalan kaki.

Abu Raafi’ berkata:

كَانَ يَخْرُجُ إِلىَ الْعِيْدَيْنِ مَاشِيًا وَ يُصَليِّ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَ لاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ يَرْجِعُ مَاشِياً فِي طَرِيْقٍ آخَرَ

“Beliau keluar menuju ‘Iedain dengan berjalan kaki, shalat tanpa azan dan iqamat, dan pulang berjalan kaki melewati jalan yang lain. “ (Ibnu Majah, Shahihul Jaami’: 4933)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

إِذَا أَتَيْتمُ ُالصَّلاَةَ فَأْتُوْهَا وَأَنْتمُ ْتَمْشُوْنَ

“Apabila kalian pergi untuk shalat, maka datangilah sambil berjalan kaki.” (Muttafaq ‘alaih)

Imam Syaukani mengatakan, “Hal ini adalah umum untuk setiap shalat yang disyari’atkan berjama’ah seperti shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat ‘Ied, shalat Kusuf (gerhana) dan shalat istisqa’ (meminta turun hujan).”

- Dianjurkan menempuh jalan yang berbeda antara berangkat dan pulangnya, berdasarkan hadits di atas dan hadits-hadits yang lain.

- Dianjurkan bertakbir (dengan dijaharkan[xi]) pada hari raya[xii] di jalan-jalan dan di tanah lapang hingga shalat ditunaikan.

Lafaz takbirnya dalam hal ini adalah waasi’ (bisa yang mana saja) di antaranya:

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَاِالهَ اِلَّا اللهُ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ ِللهِ اْلحَمْدُ

Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, untuk-Nyalah segala puji.” (Ini adalah takbir Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih, tidak mengapa ucapan takbirnya 3 kali)[xiii].

Ditulis oleh Marwan bin Musa. Disebarkan melalui www.arabic.web.id

[i] Hadits ini menunjukkan bolehnya bersuka-ria, bersenang-senang dan melakukan permainan mubah di hari raya.
[ii] Jaraknya antara terbit matahari (syuruq) kira-kira ¼ jam.

[iii] Hadits yang menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ied di masjid ketika hujan adalah dha’if, dalam isnadnya ada Isa bin Abdul A’laa, ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).

[iv] Caranya dengan bertakbiratul ihram, lalu membaca do’a istiftah, kemudian bertakbir sebanyak 6 kali. Namun menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy bin Kamal bahwa takbir pada rak’at pertama dihitung tujuh kali selain takbiratul ihram, wallahu a’lam.

[v] Khutbah ‘Ied ini hukumnya sunnah, demikian juga mendengarkannya, oleh karena itu makmum boleh langsung pulang, namun lebih utama tidak pulang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

“Sesungguhnya kami berkhutbah, barang siapa yang ingin tetap duduk untuk mendengarkan khutbah, maka silahkan duduk dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan pergi.” (Isnadnya shahih, HR. Abu Dawud).

[vi] Yang rajih menurut DR. As Sayyid Al ‘Arabiy adalah bahwa takbirnya disambung (tanpa di sela-selahi dzikr tertentu). Wallahu a’lam.

[vii] Syaikh Al Albani berkata, “Tidak disunatkan mengangkat kedua tangan pada setiap kali takbir, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun jika beralasan dengan riwayat Umar dan anaknya, maka tetap tidak menjadikannya suatu Sunnah…apalagi riwayat Umar dan anaknya itu tidak shahih; dari Umar diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang dha’if, sedangkan dari anaknya (Ibnu Umar) saya belum menemukannya sampai sekarang. Di samping itu, Imam Malik berkata, “Saya tidak mendengar sedikit pun tentang hal itu.” (Tamaamul Minnah/349)

[viii] Semua riwayat yang menjelaskan bahwa dalam berkhutbah imam duduk di sela-selanya adalah dha’if (lih. Fiqhus Sunnah).

[ix] Berhiasnya adalah sesuai syari’at, tidak dengan mencukur janggut, memakai kain melewati mata kaki, tidak juga dengan mencukur rambutnya dengan model qaza’ (mencukur sebagian rambut dan meninggalkan bagian yang lain) ini adalah haram. Dan bagi wanita dilarang bertabarruj (bersolek) ketika keluar dari rumah, juga tidak boleh memakai wewangian apalagi sampai melepas jilbab, atau memakai pakaian yang tipis dan tembus pandang.

[x] Lebih utama makan beberapa kurma dalam jumlah ganjil (sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari). Al Haafizh mengatakan, “Hikmah dianjurkan makan kurma adalah karena adanya rasa manis, di mana hal itu memperkuat penglihatan yang sebelumnya dibuat lemah oleh puasa.” Ia melanjutkan, “Dari sinilah mengapa sebagian tabi’in menganjurkan makan yang manis secara mutlak misalnya madu.” (sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Mu’awiyah bin Qurrah, Ibnu Sirin dan lainnya).”

[xi] Daruquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih bahwa Ibnu Umar berangkat pada hari Idul Fithri dan Idul Adh-ha dengan mengeraskan takbirnya, sampai tiba di lapangan, iapun tetap terus bertakbir sampai imam datang.

Dan untuk wanita cukup dengan mensirr(pelan)kan suaranya ketika takbir.

[xii] Berdasarkan surat Al Baqarah: 185 (Wa litukmilul ‘iddata..dst). Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa takbir pada ‘Idul Fitri dimulai dari keluarnya menuju tempat shalat hingga ditunaikan shalat ‘Idul Fithri.

[xiii] HR. Baihaqi dari Yahya bin Sa’id dari Al Hakam yaitu Ibnu Farwah Abu Bakkaar dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa takbirnya tiga kali dan sanadnya shahih.

[+/-] Selengkapnya...

Pembahasan Penting Seputar Zakat

Pembahasan Penting Seputar Zakat

Oleh: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah

الحمد لله وحده، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وصحبه، أما بعد
Sesungguhnya yang mendorong penulisan risalah ini adalah dalam rangka nasihat dan peringatan tentang kewajiban zakat yang telah disepelekan oleh banyak kaum muslimin, sehingga mereka tidak mengeluarkan zakat sebagaimana tuntunan syari’ah, padahal perkara zakat sangat urgen dan merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima, tidak mungkin tegak bangunan Islam ini kecuali di atasnya, berdasarkan sabda Nabishallallahu’alaihi wa sallam:

بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلا

“Islam dibangun di atas lima rukun, dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan dan haji ke baitullah bagi yang mampu.” (Muttafaqun ’alaihi)

Manfaat Zakat[1]

Kewajiban zakat atas kaum muslimin termasuk bentuk keindahan Islam yang paling nampak serta perhatiannya kepada urusan-urusan pemeluknya. Hal itu karena banyaknya manfaat zakat serta besarnya kebutuhan kaum muslimin yang fakir terhadap zakat. Diantara manfaatnya adalah mengokohkan pilar-pilar kecintaan antara si kaya dan si miskin, karena sesungguhnya karakter jiwa manusia selalu mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.

Manfaat zakat lainnya adalah membersihkan dan mensucikan hati, sehingga jauh dari sifat kikir dan bakhil, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur’anul Karim dalam firman Allah Ta’ala:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Termasuk manfaat zakat adalah melatih seorang muslim dengan sifat dermawan, murah hati dan kasih sayang kepada mereka yang membutuhkan.

Juga termasuk manfaat zakat adalah mendulang berkah, tambahan rizki dan penggantian dari Allah, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik Pemberi rizki.” (Saba’:39)

Dan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai anak Adam bersedekahlah, niscaya Kami akan bersedekah kepadamu”

Serta manfaat-manfaat lain yang sangat banyak dari amalan mengeluarkan zakat.

Bahaya Meninggalkan Zakat

Dan sungguh telah datang ancaman yang keras terhadap orang yang bakhil dalam mengeluarkan zakat atau meremehkannya, Allah Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu”.” (At-Taubah: 34-35)

Setiap harta yang tidak ditunaikan zakatnya itu termasuk kanzun (simpanan harta) yang menyebabkan adzab atas pemilik harta tersebut pada hari kiamat., sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits yang shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:

“Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka jahannam, kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah dingin maka akan dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan 50.000 tahun sampai diputuskan perkaranya di antara manusia lalu dia akan melihat jalannya, apakah ke surga atau neraka.” [HR. Muslim Kitab Zakat (7: 67 no. 2287) dari hadits Abu Hurairahradiyallahu’anhu]

Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang pemilik unta, sapi dan kambing yang tidak mengeluarkan zakatnya, dia akan diadzab dengan harta miliknya pada hari kiamat.

Juga telah shahih sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa yang Allah telah berikan harta kepadanya kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya akan berwujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil berkata: “Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu”. Kemudian beliau membaca ayat: “Janganlah sekali-kali orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya itu menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat.” [HR. Bukhori Kitab Zakat (3: 268 no.1403) dari hadits Abu Hurairahradiyallahu’anhu; Muslim Kitab Zakat (7: 74 no. 2294)]

Harta yang Diwajibkan Zakat[2]

Zakat diwajibkan atas empat macam harta:

Harta yang keluar dari bumi, dari jenis biji-bijian dan buah-buahan
Hewan ternak yang digembalakan (yaitu unta, sapi, kambing dan yang sejenisnya)
Emas dan perak[3]
Barang dagangan
Nishob Zakat

Bagi setiap harta tersebut ada nishob[4] yang telah ditentukan, sehingga tidak wajib zakat apabila harta tersebut belum mencapai nishobnya, maka (inilah nishobnya):

Biji-bijian dan buah-buahan nishobnya 5 wasaq, sedangkan 1 wasaq sama dengan 60 sho’[5], yaitu dengan ukuran sho’nya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Adapun jenisnya berupa kurma, kismis (anggur kering), gandum, beras, biji gandum dan yang semisalnya.
Jika menggunakan ukuran nishob dengan sho’ Nabi shallallahu’alaihi wa sallam maka nishobnya adalah 300 sho’, sedangkan 1 sho’ sama dengan 4 cidukan dua tangan (jadi, nishobnya adalah 1200 cidukan dua tangan) orang dewasa yang ukurannya sedang dan kedua tangannya penuh terisi.

Maka yang diwajibkan jika telah mencapai ukuran tersebut adalah 1/10 jika pohon kurma dan pertanian itu disirami dengan tanpa biaya, seperti dengan air hujan, aliran sungai, mata air dan yang semisalnya.

Adapun jika pengairannya dengan biaya dan beban seperti dengan menggunakan hewan atau kendaraan penampung air dan membuat tempat-tempat yang tinggi untuk menampung atau yang semisalnya[6], maka yang diwajibkan adalah 1/20 sebagaimana telah shahih hadits tentang ketentuan tersebut dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Adapun nishob hewan ternak seperti unta, sapi[7] dan kambing, maka dalam permasalahan ini terdapat perincian yang jelas di dalam hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bagi yang ingin mengilmuinya hendaklah bertanya kepada para ulama tentang permasalahan zakat hewan ternak tersebut[8]. Kalaulah bukan karena tujuannya hanya sekedar risalah ringkas tentu kami akan merincinya agar semakin melengkapi manfaat risalah ini.
Perak nishobnya adalah 140 mitsqol, setara dengan 56 riyal Saudi. Sedangkan emas nishobnya 20 mitsqol, setara dengan 11,3/7 Junaih Saudi. Adapun dalam ukuran gramnya (untuk nishob emas) adalah 92 gram[9], maka apabila perak dan emas telah mencapai nishob tersebut wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 (atau 2,5 %), baik nishobnya pada keduanya (emas dan perak), maupun salah satunya saja dan telah lewat satu tahun (haul) dalam kepemilikannya. Adapun kelebihan dari jumlah nishob tersebut maka haulnya mengikuti pokok harta (yang sudah mencapai nishob) tersebut[10], tidak diperlukan haul yang baru apabila harta tersebut meningkat karena keuntungan, sebagaimana berlaku pada anak hewan ternak yang telah sampai nishobnya maka haulnya mengikuti induknya, tidak perlu menunggu haul yang baru.
Demikian pula uang kertas yang hari ini digunakan manusia hukumnya sama dengan emas dan perak, baik disebut dirham, dinar, dolar atau selain itu, hukumnya sama saja jika nilainya telah mencapai seperti nishobnya perak atau emas[11] dan telah lewat satu tahun kepemilikannya, maka wajib dikeluarkan zakatnya[12].

Juga termasuk dalam hukum ini adalah perhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak secara khusus apabila telah mencapai nishob dan telah lewat satu tahun dalam kepemilikannya maka wajib dikeluarkan zakatnya jika memang perhiasan tersebut dipersiapkan untuk dikenakan atau dipinjamkan, menurut pendapat yang paling kuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini, berdasarkan keumuman hadits Nabishallallahu’alaihi wa sallam:

“Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari neraka.” [HR. Muslim Kitab Zakat (7: 67 no. 2287) dari hadits Abu Hurairah radiyallahu’anhu)

Dan juga berdasarkan satu hadits dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwasannya beliau shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan seorang wanita terdapat dua potong perhiasan melingkar dari emas, maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Apakah engkau telah mengeluarkan zakat perhiasan ini?” Wanita tersebut menjawab, “Tidak”, Beliau bersabda, “Apakah engkau mau dipakaikan Allah pada hari kiamat dengan dua gelang dari neraka?” Wanita itu pun langsung melemparnya seraya berkata, “Kedua gelang itu untuk Allah dan Rasul-Nya”.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasai, dengan sanad yang hasan).

Juga terdapat satu hadits dari Ummu Salamah radiyallahu’anha, bahwasannya beliau mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas, lalu beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

“Apakah ini termasuk kanzun (simpanan harta yang dilarang), Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah memenuhi syarat untuk dikeluarkan zakatnya kemudian engkau keluarkan, maka tidak termasuk kanzun”. Juga terdapat hadits-hadits lain yang semakna.

Barang dagangan[13] yang dipersiapkan untuk dijual harus dihitung pada akhir tahun dan dikeluarkan zakatnya sebanyak 1/40 atau 2,5 % dari nilainya, baik nilainya sama dengan harganya atau lebih atau kurang, tetap harus dikeluarkan zakatnya, berdasarkan hadits Samurah radiyallahu’anhu, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat barang-barang yang kami persiapkan untuk dijual.” (HR. Abu Daud)

Kewajiban zakat ini juga mencakup barang-barang yang dipersiapkan untuk dijual seperti tanah, bangunan, mobil, alat-alat penampung air maupun barang-barang dagangan lainnya. Adapun bangunan yang disewakan maka kewajiban zakat ada pada uang sewanya (jika mencapai nishob) dan telah lewat setahun dalam kepemilikan. Demikian pula mobil pribadi maupun mobil yang disewakan tidak ada kewajiban zakat atasnya karena tidak dipersiapkan untuk dijual tetapi untuk digunakan. Akan tetapi jika uang hasil disewakannya mobil tersebut atau uang apapun yang telah mencapai nishob dan telah lewat setahun dalam kepemilikan seseorang maka wajib untuk dikeluarkan zakatnya, baik uang tersebut dipersiapkan untuk nafkah, atau untuk menikah, atau untuk dibelikan perabot rumah, atau untuk dibayarkan hutang maupun untuk selainnya, berdasarkan keumuman dallil-dalil syar’i yang menunjukkan kewajiban zakat pada permasalahan seperti ini.

Dan yang benar dari pendapat para ulama bahwa harta dari hasil berhutang pun dikenai kewajiban zakat berdasarkan penjelasan sebelumnya.

Demikian pula hartanya anak yatim dan orang gila juga wajib dikeluarkan zakatnya menurut pendapat jumhur ulama, jika telah mencapai nishob dan telah lewat satu tahun dalam kepemilikan. Wajib bagi para walinya untuk mengeluarkan zakat mereka dengan meniatkannya dari mereka, ketika telah sempurna satu tahun, berdasarkan keumuman dalil, seperti sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits Mu’adzradhiyallahu’anhu ketika Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengutus Mu’adzradhiyallahu’anhu ke negeri Yaman:

“Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat atas kaum muslimin dari harta-harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diserahkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka.” (HR. Al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma)

Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat

Zakat adalah hak Allah Ta’ala, tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya. Tidak boleh pula zakat dikeluarkan dalam rangka mendapatkan suatu manfaat atau menolak suatu mudhorat, atau sekedar melindungi hartanya dan menghindari celaan, akan tetapi wajib atas seorang muslim memberikan zakatnya kepada yang berhak menerimanya dengan hati yang lapang dan ikhlas karena Allah Ta’ala, bukan karena tujuan lain, yang dengan itu berarti ia telah memenuhi kewajibannya dan berhak mendapatkan pahala yang besar serta ganti yang lebih baik dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala telah menjelaskan dalam kitab-Nya yang mulia tentang golongan-golongan penerima zakat dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, budak (yang mau memerdekakan diri), orang-orang yang berhutang, orang yang sedang di jalan Allah dan musafir, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)

Ayat yang mulia ini ditutup dengan dua nama Allah Ta’ala yang agung (yaitu Maha mengetahui dan Maha Bijaksana) sebagai peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’alaterhadap hamba-hamba-Nya bahwa Allah Ta’ala Maha Mengetahui keadaan para hamba dan siapa saja yang berhak dan yang tidak berhak menerima zakat. Dan Allah Ta’ala Maha Bijaksana dalam syari’at-Nya dan ketentuan-Nya, maka tidaklah Allah Ta’ala meletakkan sesuatu kecuali pada tempatnya yang layak, meskipun sebagian dari rahasia-rahasia hikmah Allah Ta’ala tersebut tersembunyi dari sebagian manusia, semua itu agar para hamba tenang dengan syari’at-Nya dan tunduk dengan hukum-Nya.

Dan kita mohon kepada Allah Ta’ala untuk memberikan taufik kepada kita dan kepada kaum muslimin agar dapat memahami agama-Nya dan jujur dalam mu’amalah dengan-Nya, serta berlomba-lomba dalam mendapatkan ridho-Nya dan keselamatan dari hal-hal yang menyebabkan murka-Nya, sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mendengar dan Maha Dekat.

وصلى الله وسلم على عبده ورسوله محمد وآله وصحبه

Pemimpin Umum Lembaga Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah

Terjemahan dari: [الرسالة الأولى في بحوث هامة حول الزكاة]

Dari kitab: Risalataani Maujizataani fiz-Zakaati wash-Shiyaam

Penerbit: Kantor Pusat Lembaga Pembahasan Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Bimbingan Riyadh, KSA 1411 H





[1] Semua sub judul, penomoran dan catatan kaki dari kami untuk memudahkan (pent.)

[2] Zakat terbagi dua, zakat mal (harta) dan zakat fitri (yang dikeluarkan setiap tahun di akhir Ramadhan sampai sebelum shalat ‘iedul fitri). Adapun yang dibicarakan dalam risalah ringkas ini adalah zakat mal, yang wajib dikeluarkan sepanjang tahun jika telah terpenuhi syarat-syarat kewajibannya, sebagaimana akan datang penjelasannya insya Allah Ta’ala.

[3] Uang kertas, perhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak dan barang dagangan juga termasuk pada poin ini, sebagaimana akan datang keterangan dari Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah.

[4] Nishob adalah batasan harta terendah yang wajib dizakati, yaitu apabila harta seseorang telah mencapai jumlah tersebut maka wajib dikeluarkan zakatnya, jika belum sampai maka tidak diwajib zakat.

[5] Nishob zakat pertanian dalam ukuran gram adalah 652,8 kg (Lihat Al-Adillatur Rhodiyyah, hal. 127), maka ketika hasil pertanian seseorang telah mencapai 652,8 kg wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 1/10 atau 10 % jika menggunakan air tanpa biaya dan beban. Adapun jika menggunakan air dengan biaya dan beban maka yang dikeluarkan hanya separuhnya saja, yaitu 1/20 atau 5 %.

[6] Adapun dengan menggunakan irigasi buatan maka perlu perincian, jika irigasi tersebut dibuat oleh pemerintah dan dipakai gratis tanpa adanya beban oleh para petani maka zakatnya adalah 10 %, sedangkan jika pemerintah menarik biaya atau irigasi tersebut dibuat sendiri oleh petani maka zakatnya sebesar 5 %.

[7] Termasuk kerbau (disamakan dengan sapi) berdasarkan ijma’, sebagaimana yang dinukil Al-Imam Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’, hal. 90 (At-Ta’liq ‘Ala Kitabiz Zakati was Shiyam, hal. 23)

[8] Lihat perinciannya pada tabel perhitungan Zakat

[9] Sebagian Ulama menghitung nishob minimalnya dalam gram adalah 85 gram untuk emas dan 595 gram untuk perak (lihat Taudihul Ahkam, 3/319 dan Al-Adilatur Rhodiyyah, hal. 123). Maka apabila seseorang memiliki emas minimal sebanyak 85 gram atau perak sebanyak 595 gram wajib atasnya mengeluarkan zakat sebanyak 2,5 % dari harta emas atau perak yang dia miliki apabila telah genap satu tahun dalam kepemilikannya.

[10] Yaitu apabila harta seseorang telah mencapai nishob, kemudian pada pertengahan tahun dia mendapatkan tambahan-tambahan harta, maka jika telah sampai setahun dia wajib mengeluarkan zakat dengan menghitung keseluruhan hartanya. Jadi, tambahan-tambahan harta di pertengahan tahun tersebut dihitung bersama harta yang telah dimiliki dari awal tahun yang telah mencapai nishobnya tanpa membuat penghitungan dengan awal tahun yang baru.

[11] Nishob uang disamakan dengan nishobnya salah satu dari emas dan perak, dipilih mana yang paling rendah nilainya apabila diuangkan

[12] Contohnya apabila harga perak Rp.5.000 per gram dan nishob adalah 595 gram, maka nishob uang adalah Rp.5.000 x 595 = Rp.2.975.000,-. Jadi, jika seseorang memiliki uang sejumlah tersebut atau lebih dan telah dimilikinya selama satu tahun maka wajib atasnya mengeluarkan zakat sebesar 2,5 %.

[13] Nishob barang dagangan juga disamakan dengan nishobnya salah satu dari emas dan perak, dipilih mana yang paling rendah nilainya apabila diuangkan

[+/-] Selengkapnya...

Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at

Bila Shalat ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at


Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.

Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.

Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)

Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]

Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.

Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,

قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ

“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]

Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.

Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:

Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,

أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».

“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]

Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.

Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.

Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]

Kesimpulan:

Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied yaitu shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]

Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).

Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

[+/-] Selengkapnya...

Jumat, 03 September 2010

Tatacara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri

Tatacara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Tatacara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri : Dua roka’at berjama’ah, dengan tujuh takbir di roka’at pertama (selain takbirotul ihrom) dan lima takbir di roka’at kedua (selain takbir intiqol atau takbir berpindah dari rukun yang satu ke rukun yang lain). Adapun tata caranya adalah sebagai berikut :


1. Memulai dengan takbiratul ihrom, sebagaimana shalat-shalat lainnya.

2. Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak tujuh kali takbir (selain takbiratul ihrom) sebelum memulai membaca Al Fatihah. Boleh mengangkat tangan ketika takbir-takbir tersebut sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu ‘Umar. Ibnul Qayyim mengatakan, “Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat tangannya dalam setiap takbir.”

3. Di antara takbir-takbir yang ada tadi tidak ada bacaan dzikir tertentu. Namun ada sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud, ia mengatakan, “Di antara tiap takbir, hendaklah menyanjung dan memuji Allah.” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/291). Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat). Lihat Ahkamul ‘Idain, Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, hal. 21, Al Maktabah Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1405 H.]

Syaikhul Islam mengatakan bahwa sebagian salaf di antara tiap takbir membaca bacaan,

سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ . اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي

“Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar. Allahummaghfirlii war hamnii (Maha suci Allah, segala pujian bagi-Nya, tidak ada sesembahan yang benar untuk disembah selain Allah. Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku).”

4. Kemudian membaca Al Fatihah, dilanjutkan dengan membaca surat lainnya. Surat yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surat Qaaf pada raka’at pertama dan surat Al Qomar pada raka’at kedua. Ada riwayat bahwa Sayyidina ‘Umar bin Al Khattab pernah menanyakan pada Waqid Al Laitsiy mengenai surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Ia pun menjawab,


كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِ (ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ) وَ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ)

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca “Qaaf, wal qur’anil majiid” (surat Qaaf) dan “Iqtarobatis saa’atu wan syaqqol qomar” (surat Al Qomar).” [HR. Muslim no. 891]

Boleh juga membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua. Dan jika hari ‘ied jatuh pada hari Jum’at, dianjurkan pula membaca surat Al A’laa pada raka’at pertama dan surat Al Ghosiyah pada raka’at kedua, pada shalat ‘ied maupun shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.


“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam shalat ‘ied maupun shalat Jum’at “Sabbihisma robbikal a’la” (surat Al A’laa) dan “Hal ataka haditsul ghosiyah” (surat Al Ghosiyah).” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat".[HR. Muslim no. 878.]

5. Setelah membaca surat, kemudian melakukan gerakan shalat seperti biasa (ruku, i’tidal, sujud, dst).

6. Bertakbir ketika bangkit untuk mengerjakan raka’at kedua.

7. Kemudian bertakbir (takbir zawa-id/tambahan) sebanyak lima kali takbir (selain takbir bangkit dari sujud) sebelum memulai membaca Al Fatihah.

8. Kemudian membaca surat Al Fatihah dan surat lainnya sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

9. Mengerjakan gerakan lainnya hingga salam.

[+/-] Selengkapnya...

Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri

Kemungkaran yang Biasa Dilakukan Tatkala ‘Iedul Fitri

Tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang kafir dalam pakaian dan mendengarkan musik/nyanyian (kecuali rebana yang dimainkan oleh wanita yang masih kecil). Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan) dan sabda Nabi yang lain, “Akan datang sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan (padahal hukumnya haram) perzinaan, pakaian sutra bagi laki-laki, khomr (sesuatu yang memabukkan), dan alat musik…” (HR. Al Bukhori secara mu’allaq dan Imam Nawawi berkata bahwa hadits ini shohih dan bersambung sesuai syarat shohih). Dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Lahwal Hadits’ (perkataan yang tidak bermanfaat) dalam surat Luqman ayat 6 adalah Al Ghinaa‘ (nyanyian).
Tabarruj-nya (memamerkan kecantikan) wanita, dan keluarnya mereka dari rumahnya tanpa keperluan yang dibenarkan syariat agama. Hal tersebut diharamkan di dalam syari’at ini, di mana Alloh berfirman, “Dan hendaklah kamu (wanita muslimah) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu, dan dirikanlah sholat serta tunaikanlah…” (QS. Al Ahzab: 33). Dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah dilihat oleh Nabi: “….salah satu di antaranya adalah wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang (tidak menutup seluruh tubuhnya, atau berpakaian namun tipis, atau berpakaian ketat) yang melenggak-lenggokkan kepala. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium bau surga.” (HR. Muslim)
Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah yang sudah sangat merata. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirohmati Alloh. Padahal perbuatan ini adalah haram berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam, “Sungguh, seandainya kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi, lebih baik daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal dia sentuh.” (lihat Silsilah Al Ahadits As Shohihah 226) (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).
Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya ‘Ied. Tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan perintah Alloh ataupun tuntunan Nabi untuk ziarah ke kubur pada saat ‘Iedul Fitri. Ziarah kubur memang termasuk ibadah yang disyariatkan, namun, pengkhususan waktu untuk ziarah saat ‘Iedul Fitri membutuhkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, perbuatan tersebut bukan tuntunan Nabi dan tidak boleh dilaksanakan. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang beramal suatu amalan (untuk tujuan ibadah) di mana tidak termasuk dalam urusan kami, maka amalnya tersebut tertolak (tidak akan diterima).” (HR. Muslim)
Begadang saat malam ‘Iedul Fitri. Banyak di antara kaum muslimin yang menghidupkan malam ‘Ied dengan takbir via mikrofon. Hal ini sangat mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat. Hukum mengganggu orang lain adalah haram. Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.” (HR. Muslim). Sehingga jika memang hendak bertakbir, hendaknya tidak dengan suara yang keras. Ada lagi di antara kaum muslimin yang menjadikan malam ‘Ied untuk begadang dengan bermain catur, kartu atau sekedar ngobrol tanpa tujuan. Akibatnya, tatkala pagi datang, kebanyakan dari mereka sulit menjalankan sholat subuh secara berjamaah. Bahkan ada yang sampai ogah-ogahan menjalankan sholat ‘Ied.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Semoga Alloh memberikan balasan yang baik bagi yang menulis, membaca, dan yang menyebarkannya.

[+/-] Selengkapnya...

Sunnah-Sunnah Didalam Melaksanakan Shalat Idul Fitri

Sunnah-Sunnah Didalam Melaksanakan Shalat Idul Fitri

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh....
Bismillahirrahmaanirrahiim....

Ada beberapa hal yang dicontohkan Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam terkait dengan pelaksanaan hari raya dalam hal ini Shalat ‘Iedul fitri , di antaranya:

Mandi Sebelum ‘Ied

Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya karena hari itu adalah tempat berkumpulnya manusia untuk sholat. Namun, apabila hanya berwudhu saja, itu pun sah. (Ahkamul Iedain, Dr. Abdulloh At Thoyyar – edisi Indonesia). Dari Nafi’, bahwasanya Ibnu Umar mandi pada saat ‘Iedul fitri sebelum pergi ke tanah lapang untuk sholat (HR. Malik, sanadnya shohih). Berkata pula Imam Sa’id bin Al Musayyib, “Hal-hal yang disunnahkan saat Iedul Fitri (di antaranya) ada tiga: Berjalan menuju tanah lapang, makan sebelum sholat ‘Ied, dan mandi.” (Diriwayatkan oleh Al Firyabi dengan sanad shohih, Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).

Makan Sebelum Berangkat Shalat 'Ied

Disunnahkan makan sebelum melaksanakan sholat ‘Iedul Fitri. Hal ini berdasarkan hadits dari Buroidah, bahwa beliau berkata: “Rosululloh dahulu tidak keluar (berangkat) pada saat Iedul Fitri sampai beliau makan dan pada Iedul Adha tidak makan sampai beliau kembali, lalu beliau makan dari sembelihan kurbannya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya hasan). Imam Al Muhallab menjelaskan bahwa hikmah makan sebelum sholat saat ‘Iedul Fitri adalah agar tidak ada sangkaan bahwa masih ada kewajiban puasa sampai dilaksanakannya sholat ‘Iedul Fitri. Seakan-akan Rosululloh mencegah persangkaan ini. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).

Memperindah (berhias) Diri pada Hari Raya

Dalam suatu hadits, dijelaskan bahwa Umar pernah menawarkan jubah sutra kepada Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam agar dipakai untuk berhias dengan baju tersebut di hari raya dan untuk menemui utusan. (HR. Bukhori dan Muslim). Rosululloh shollallohu’alaihi wa sallam tidak mengingkari apa yang ada dalam persepsi Umar, yaitu bahwa saat hari raya dianjurkan berhias dengan pakaian terbaik, hal ini menunjukkan tentang sunnahnya hal tersebut. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan). Perlu diingat, anjuran berhias saat hari raya ini tidak menjadikan seseorang melanggar yang diharamkan oleh Alloh, di antaranya larangan memakai pakaian sutra bagi laki-laki, emas bagi laki-laki, dan minyak wangi bagi kaum wanita.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar ketika shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha dengan pakaiannya yang terbaik.” [Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, 1/425.]

Berbeda Jalan antara Pergi ke Tanah Lapang dan Pulang darinya

Disunnahkan mengambil jalan yang berbeda tatkala berangkat dan pulang, berdasarkan hadits dari Jabir, beliau berkata, “Rosululloh membedakan jalan (saat berangkat dan pulang) saat iedul fitri.” (HR. Al Bukhori). Hikmahnya sangat banyak sekali di antaranya, agar dapat memberi salam pada orang yang ditemui di jalan, dapat membantu memenuhi kebutuhan orang yang ditemui di jalan, dan agar syiar-syiar Islam tampak di masyarakat. (Ahkamul Iedain, Syaikh Ali bin Hasan).

Bertakbir ketika keluar hendak shalat ‘ied

Dalam suatu riwayat disebutkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” [Dikeluarkan dalam As Silsilahh Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih.]

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berangkat shalat ‘ied (Idul Fithri dan Idul Adha) bersama Al Fadhl bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin’Abbas, ‘Ali, Ja’far, Al Hasan, Al Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Ayman bin Ummi Ayman, mereka mengangkat suara membaca tahlil (laa ilaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar).” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi (3/279). Hadits ini hasan. Lihat Al Irwa’ (3/123)]

Di antara lafazh takbir adalah,


“Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala pujian hanya untuk-Nya)”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa lafazh ini dinukil dari banyak sahabat, bahkan ada riwayat yang menyatakan bahwa lafazh ini marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam juga menerangkan bahwa jika seseorang mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar“, itu juga diperbolehkan.

Menyuruh wanita dan anak kecil untuk berangkat shalat ‘ied

Dalilnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu ‘Athiyah yang pernah kami sebutkan. Namun wanita tetap harus memperhatikan adab-adab ketika keluar rumah, yaitu tidak berhias diri dan tidak memakai harum-haruman.

Sedangkan dalil mengenai anak kecil, Ibnu ‘Abbas (yang ketika itu masih kecil) pernah ditanya, “Apakah engkau pernah menghadiri shalat ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ia menjawab, “Iya, aku menghadirinya. Seandainya bukan karena kedudukanku yang termasuk sahabat-sahabat junior, tentu aku tidak akan menghadirinya.” [HR. Bukhari no. 977.]

Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat

Dari Ibnu ‘Umar, beliau mengatakan : “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat shalat ‘ied dengan berjalan kaki, begitu pula ketika pulang dengan berjalan kaki.“ [HR. Ibnu Majah no. 1295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.]

[+/-] Selengkapnya...

Followers

 

Pencarian kata

powered by Answers.com

Hamba Allah

Foto Saya
Kurniawan Bogo Yustanto
Kubukan Seorang Penulis Maupun Seorang Ustadz atau Kyai, Diriku hanya seseorang Yang Mencoba Untuk Bisa Saling Berbagi Mengenai Agama Islam yang Sempurna ini. Seluruh isi Artikel di Blog ini bebas Etika Copy/Paste. Diperbolehkan COPY seluruh isi blog ini. Karena begitu indahnya berbagi ilmu dan mencoba untuk berdakwah :) Indahnya Kebersamaan Dalam Islam
Lihat profil lengkapku

Ajang Silaturohim :

Jadwal Shalat Kota Semarang